Judul : Titik Nol
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Februari 2013
Jumlah halaman : 552 halaman
Mungkin udah banyak orang yang baca buku ini. Apalagi kalau beli di waktu sekarang-sekarang ini, di cover depan buku sudah terpampang cap medali “best seller”, anggun sekali. Mungkin bagi mereka yang sudah mengikuti jejak si penulis, bahkan sebelum terbitnya, hampir nggak perlu label-label sejenis itu, pasti langsung beli. Berhubung mottonya ‘One book thousand feelings’, jadi yaudah gapapa, saya senang hati resensi buku berikut ini.
Buku karya Agustinus Wibowo berjudul Titik Nol, atau Ground Zero dalam versi terjemahan Bahasa Inggris. Belum lama ini, tampil meramaikan Beijing International Book Fair, yang disambut antusias penulisnya hingga diterbitkan dalam bahasa Vietnam, untuk memperluaskan pembacanya.
Titik Nol berisikan kisah perjalanan Agustin sejak dirinya berkhidman dalam dunia “perjalanan” dari satu fase ke fase berikutnya. Dari satu titik ke titik berikutnya, rangkaian proses, kejadian, titik henti, titik balik dan akumulasi dari seluruhnya yang menentukan jati diri seorang manusia. Mungkin hal ini bukanlah berita baru mengingat buku perjalanan bukanlah aliran baru. Tentu bukan pula cerita yang benar-benar baru kalau kita sebelumnya sudah membaca karya Agustin lainnya (Selimut Debu dan Garis Batas). Nostalgia Jalur Sutra, Sekat batas Negara Stan, dan konflik intrik menjadi santapan khas dari tema karya Agustin. Namun buku ini mengangkat derajatnya tatkala Agustin mengisahkan penggalan-penggalan cerita lain dari dirinya, dengan sentuhan yang lebih privacy. Terkhusus bagaian kisah dirinya menemani ibunya semasa sakit hingga ajal menjeput. Konflik keluarga, idealisme, isu agama, melebur menjadi satu cerita yang menyisakan misteri di tiap lembarnya.
Bagaimana seorang sarjana universitas terkemuka memulai hidupnya sebagai traveller? Itu satu misteri. Bagaimana rencana hidupnya semula, reaksi keluarga, lalu memilih menghabiskan umur belasan tahun keliling dunia? Maka itu jadi misteri lainnya. Bukankah Traveller juga manusia yang memiliki ayah-ibu, tetangga, uang tabungan, karir, yang juga harus dipikirkan? Pada akhirnya kita mengerti, semua itu tak semudah kelihatannya.
Tak kalah menarik yaitu kisah eksklusif Agustin menemani ibunya selama proses penyembuhan-lalu sakit-dan sakit terus. Berkesinambungan, antara kisah perjalanan Agustin mengitari Asia Tengah, dengan penggalan cerita dari ranjang pesakitan. Kontras, antara Ibu yang tidak kemana-mana, dengan Agustin yang sudah kemana saja. Namun setiap manusia memang punya kisah perjalanannya sendiri. Dimana Agustin menuliskan : Perjalananku bukan perjalananmu, perjalananku adalah perjalananmu. Setiap orang memiliki kisah perjananan sendiri, tapi hakikat perjalanan itu adalah sama. Banyak sisi tempat kita memandang, bisa beda rasa yang kita petik. Semoga pembaca bisa mengambil nilai positif dari kisah perjalanan yang satu ini. Wallahu’alam. [Alga Biru]