Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘ONE DAY ONE POST’ Category

Hari ini memang jadwal Group kami (BACA YUK!) ber-Speak-Up Day! Sebenarnya nggak ada kewajiban sih bagi para reviewer harus nge-English juga. Yang penting komentar dan segala feedback di group di hari tersebut wajib nge-speak alias little little english, mixed every single word what you want. Kala itu bulan Maret, jadwalnya Bahasa Inggris. Bulan April ini insyaallah Arabic. Bulan depannya lagi German. Sayangnya all about Deutch masih buta 😀 #LemparBantal. Alhamdulillah di bulan Maret ada Mba Rusyda Fauzana yang setor resensi dengan Bahasa Inggris. Hemm, akankah di April ini ada yang ‘berani’ nge-resensi pakai Arabic. Hemm, arabic? seriusan? Ok, untuk sementara saya tutup mata 😀

Selamat menikmati !

*****

kopi

Assalamualaikum all, tonight I’ll post a review about a book that I think most of people fond of it.

Title: Filosofi Kopi
Genre: anthology of short story, kind of drama and absurd stories.
Writer: Dee Lestari
Published: 2007
Pages: 135

Review:
Actually it’s too late for me to read this book. Since several weeks ago the members of Baca Yuk! were talking about Dee Lestari’s book, then I grabbed her Filosofi Kopi when had fun in Gramedia. This anthology consists of 18 short stories written by Dee for a decade. Of course the most impressing one is Filosofi Kopi. ☕

I read the lastest printed book Filosofi Kopi, published in 2015. Dee put Filosofi Kopi to the first story.

The narrator, named Jody, told the story from his point of view. It was about obsession of Ben on coffee. He spent his time searching for the best coffee around the world.

The story began when they joined to build a cafe. Ben with his skill blend the coffee ingredients made more people impressed and provoked them to come again and again. He always knew how to make innovation and satisfy his customers.

One day, Ben had an idea to attach a philophy for every coffee he made. His customers became more exciting. Until a successful and popular man came to his cafe and asked him to make the best coffee. Ben did it. And put a new philosophy on his new and best coffee recipe. It was Ben’s perfecto: succes is the manifestation of life perfection.

Ben and Jody’s coffee become more popular. Then, a new visitor came and tasted the perfect coffee, but said that it was just a so so coffee. There was another coffe which tasted best of all. Ben got frustrated then tried to find the coffe.

Ben and Jody finally found the coffee. It was a traditional coffee in remote area. Ben felt he failed in all way. He isolated himself and closed the cafe, eventhough his customers wanted to come.

At the end, jody gave him Tiwus coffee and said that there’s no perfection, life is beautiful as it is. Ben realized that he was wrong. He forgot about how people accept his works as they are. They loved it and also loved Ben as he himself. Then, he pumped up his spirit again and open the cafe with dedication to his customers.

This story has strong moral story that one should not compare himself to antother only to feed his ego and arrogance. Just be who we are and do the best for our life.
That’s all my review for tonight. Hope you like it. ☕

Read Full Post »

*RANTING YANG TERLUPAKAN, URAT YANG TERNADIKAN” (BAGIAN III)

 

“Bukankah tidak lulus?” tanya seorang mahasiswa, “Jika kita memaksakan diri memuji orang yang kita benci, atau orang yang kita musuhi?”.

Orang yang ditanya itu tersenyum. Namanya George W.Crane, seorang dokter, konsultan dan Psikolog. “Bukan”, kata Crane. “Anda bukannya tidak tulus ketika Anda memuji musuh Anda. Mengapa? Karena pujian itu adalah pernyataan yang jujur atas sifat atau keunggulan objektif yang memang pantas dipuji. Anda akan menemukan bahwa setiap orang memiliki sifat baik atau keunggulan”

Lanjutnya, dengan bersemangat pula, “Mungkin saja, pujian Anda mengangkat semangat dalam jiwa orang-orang kesepian yang hampir putus asa untuk berbuat baik.”
Sehebat apapun menghindari friksi, gravitasi sosial menarik kita pada seseorang yang kadang tak dikehendaki. Entah kita tak suka jalan pikirannya, gelagat ia menjawab, hardik yang tak terkuasai, atau kilatan matanya memandang. Masih ada, pasti ada. Sesuatu untuk kita kagumi, hargai darinya. Serpih untuk kita syukuri, rencana Allah untuknya, untuk diri kita yang lemah memandang segala.
Segalanya adalah cermin. Jangan kau pecahkan ia jika jelek bayang rupanya. Insyaf pertama, tak ada orang yang sempurna. Insyaf kedua, tak sama ia kemarin dengan hari ini. Insyaf ketiga, ia bukan kamu, kamu bukan dia. Insyaf keempat, harmonis itu ialah mereka yang melengkapi kekurangan, mempraktisi kelebihan. Insyaflah diri yang pandang iri, simpan dengki, hasat dalam hasrat.

*****
Maafkan gurunda @salimafillah, ditambah kurang sana sini tulisan aslinya. Diperas buku tebal itu dalam rujuk sesingkat ini, agar mudah dikunyah ke dalam jiwa-jiwa kehausan.

Thanks jepretan yang mewakili diksi, oleh @ikhsansiddiq

isan

Read Full Post »

 

ISAN23

Majelis Mu’awiyah sedang ramai dihadiri orang yang telah berdamai berkat kelapangan hati Al-Hasan ibn Ali. Ali ibn Abi Thalib sendiri telah wafat, ditikam Khawarij garis keras, Abdurahhman ibn Muljam. Lelaki bernama Dhirar ibn Dhamrah, ditanya oleh sang pemimpin baru itu.


“Wahai Dhirar, kisahkanlah padaku tentang Ali”. Ia hendak menolak permintaan itu, andai ia bisa. Sebab khawatir ada nada marah dan cemburu membersamai Muawiyah yang pada waktu sebelumnya pernah berlainan pandangan politik dengan Ali Radhiallahu anhu.

“Ali tidaklah berbeda dengan salah seorang di antara kami. Dia akan mengajak duduk bersamanya bila kami datang, dengan selalu mengulurkan bantuan bila kami menadah tangan. Orang yang kuat tidak berharap akan terlepas dari kesalahannya, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilannya”

Wajahnya disambar kesungguhan, peluhnya keras menahan ingatan yang terbuncah. Dhirar berkata “Aku mendengar Ali bersedu kepada tuhannya. Rabbi! Rabbi! Ya Rabbi!” “Hai Dunia! Menjauhlah dariku! Mengapa engkau datang kepadaku ? Tak adakah orang lain untuk kau perdayakan? Adakah engkau sangat menginginkanku? Engkau tak mungkin mendapat kesempatan untuk mengesankanku! Aku telah menceraikanmu tiga kali, yang sesudahnya tak ada lagi rujuk. Kehidupanmu singkat, kegunaanmu kecil, kedudukanmu hina, dan bahayamu mudah berlaku! Ah sayang
. Sangat sedikit bekal di tangan, jalan begitu panjang, perjalanan masih jauh, dan tujuan sukar dicapai”

Dhirar duduk meratap. Majelis itu khusyuk terisak. Tangis Mu’awiyah tak tertahan. “Kesedihanku atas kehilangannya umpama kesedihan seorang ibu yang anaknya disembelih di hadapan matanya sendiri”, ucap Dhirar, dengan pilu meninggalkan majelis yang banjir air mata.

****
Masih, intisari karya ustadz @salimafillah . Masih juga, visual @ikhsansiddiq *** Semoga berkah keduanya. Segalanya ialah cermin.

Read Full Post »


isan
“Injak kepalaku ini hai Bilal. Demi Allah, kumohon injaklah”. Abu Dzar Al-Ghiffari menyiapkan kepalanya di tanah berdebu. Ia masih memohon disitu, sementara Bilal bersiteguh hati, tak mengikuti permintaan itu.

“Kumohon Bilal Saudaraku. Injaklah kepalaku”, masih juga ia meminta.
Kemarin itu rupanya. Abu Dzar berkesal hati mengira Bilal tak mengerjakan amanahnya, dan mengiranya membenar-benarkan diri.

Berkatalah ia “Hai anak budak hitam”, ia menghardik.

Ditegur ia oleh Baginda Rasulullah, “Engkau!”, sabdanya,”Sungguh dalam dirimu terdapat jahiliyah”

Sergap, Abu Dzar tak berdaya. Alangkah ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia.

Muadzin kesayangan Rasul itu campur hati, antara murka dan nelangsa. Berkatalah ia: “Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak”

Adab persahabatan, jalin jelindan dalam dinamika kehidupan. Tak kemudian sepi dari masalah. Cukuplah bagaimana ia menjadi rahmah berkah bagi sekalian alam.

**
Mengukir kembali dari yang ditangkap, “Iman yang Tak Sendiri” oleh @salimafillah

Visual, jepretan @ikhsansiddiq

Read Full Post »

Berita seputar LGBT dan Prostitusi Kalijodo merupakan suatu hal, tapi si kresek ini jadi hal yang lain. Ngga seimbang ya perbandingannya hehe. Masih sore nih, jangan terlalu serius ya. Kita sharing kecil-kecilan aja selaku ibu rumah tangga yang diminta mengerti detail debu sampai sapu, keranjang sampah sampai tiang jemuran. cekidot!

****

kresek

Mungkin karena aturan baru, masih hangat dikomentari.  Kresek alias kantong plastik alias plastik asoy (ini orang Medan yang ngomong), yang biasanya gratis-gratis aja, jadi berbayar 200 perak (CMIIW). Hari ini saya pasang iklan jualan totebag. Sebenarnya totebag ini udah dari dulu dijualnya, tapi liat aji mumpung, liat peluang, saya koar-koar, “Nah Sis, jangan lupa bawa totebag ini ya pas nanti belanja ke supermarket, berhemat sekalian ngajakin ngaji”   (Serius santai postinginnya).  Kebetulan jenis totebag itu ada “muatan dakwahnya”.

Saya sendiri sebenarnya yakin nggak yakin, apa iya habits orang Indonesia udah sampe sana? Bawa-bawa kresek sendiri, keranjang dari rumah, totebag atau apalah apalah. Emang iya? Setidaknya untuk aturan yang baru hitungan hari, agak pesimis ya. Tapi jauh di hati ada yang berkata begini : Ya selalu ada aja keless yang semangat go green, semangat bawa plastik sendiri, dan senang berhemat “lumayan 200”, hihi, gw sukak gaya lu bun!

 

Selalu ada kemungkinan itu walau sekian persen kenyataannya. Saya nggak mau ngomong data-data ya. Yang lebih penting dari itu semua, di hati berdoa, di mulut berucap pula, mudah2an semangat cinta lingkungan ini nggak cuma gini-ginian doang. Apa kabar kebakaran hutan di Riau dan sekitarnya? Kok nggak kedengeran follow up nya? Bukankah go-green nya lebih nyata untuk sekedar menjaga yang sudah ada. Jangan tebang hutan, stop investasi perusak lingkungan, sejenisnya, kejar yang kelas kakapnya.

Lalu,,, sampailah pada suatu kenyataan:

“Bang, jangan lupa minta kresek ” kata saya pada suami. Bukan maksudnya dari rumah bawa-bawa kresek, tapi belanja ke Indo atau Alfa itu memang tujuannya dapetin kreseknya. Hehehe… Wah, kok gitu? Kamuflase doang? Maruk cap kerupuk? Hemm… Yaahhh, yang warga Jakarta, mungkin tau jawabannya. Itulah kresek multifungsi penyelamat sampah-sampah kami, kresek yang dirindukan. 🙂

 

Salam

Alga Biru

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Read Full Post »

Anak Kedua Saya

hana

*THE CENTER OF UNIVERSE*

Kaulah matahari, akulah planet-planet. Kau bunga, aku potnya. Kau yang berbuat sesuka, aku kena getahnya.

Kau menangis, aku perih. Kau terluka, aku iba. Kau minta segalanya, aku berikan semuanya, sebatasnya.

Kau tunjuk ke satu arah, kuperkenalkan bermacam arahan.

Kau sering merasa marah, aku telan bulat-bulat.

Sementara kau terus tumbuh, aku terhisab dalam energi kehidupanmu.

 

Read Full Post »

lomba

**Save dulu, terutama untuk yang mungkin tertarik

Unibkita.com — Lomba Cipta Cerpen Islampos Kategori Umum
~ Rebut hadiah utama senilai Rp. 2.500.000,- ~

Tema Cerpen: Bebas, Islami. Lebih disukai bertema perjuangan, romantika suami-istri, dan anak-anak.

Hadiah Pemenang Lomba Cerpen:
Juara 1 : Rp. 2.500.000
Juara 2 : Rp. 1.500.000
Juara 3 : Rp. 800.000

20 naskah terbaik akan mendapatkan hadiah masing-masing Rp. 250.000.

Ketentuan umum:
1. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
2. Naskah orisinal ’bukan jiplakan atau saduran’ dan belum pernah dipublikasikan di media cetak maupun elektronik serta tidak sedang diikutkan pada lomba lain.
3. Penerimaan karya (DL) sampai dengan 1 Juli 2016 (cap pos).
4. Format penulisan menggunakan kertas ukuran A4, jenis font Times New Roman ukuran 12 margin semua sisi 3 cm dan spasi 1,5.
7. Soft file naskah dikirim dengan bertipe (.doc).
8. Jumlah halaman 5-10 halaman.
9. Peserta boleh mengirim lebih dari satu karya.
10. Soft file karya dikirim via email Islampos@gmail.com dengan subjek dan nama file Lomba-Cerpen Islampos _Judul Naskah_Nama Penulis,
11. Selain itu, karya dikirim pula rangkap 3 (tiga) berupa print out ke Jln. Terusan Ibrahim Singadilaga No. 16 Kelurahan Nagrikaler Purwakarta, Jawa Barat. []

[*] Menurut Pimpinan Redaksi Islam Pos, Bapak Saad Sefullah, akan ada informasi tambahan. Namun, ini sebagai rujukan agar amunisi kreativitas mencipta cerita pendek dapat mulai digali. Informasi tambahan (apabila sudah ada) akan ASR sampaikan lebih lanjut.

Salam santun


Sumber : 
Fb 

Arief Siddiq Razaan

Read Full Post »

Film the Finest Hours yang berkesan itu mengingatkan saya pada kisah seru dalam negeri yang mirip-mirip, isu penting dan mendebarkan. Hemm, bukan seru sih, lebih tepatnya kisah pilu.

KMP Tampomas II yang semula bernama MV Great Emerald diproduksi tahun 1956 oleh Mitsubishi Heavy Industries di Shimonoseki, Jepang, tergolong jenis Kapal RoRo (Roll On-Roll Off) dengan tipe Screw Steamer berukuran 6139 GRT (Gross Registered Tonnage) dan berbobot mati 2.419.690 DWT (Dead-Weight Tonnage). Dimodifikasi ulang (Retrofit) tahun 1971 di Taiwan. Kapal ini berkapasitas 1250-1500 orang penumpang, dengan maksimum 19.5 knot. Memiliki lebar 22 meter dan Panjang 125,6 meter.

tampo1

Demikianlah Kapal itu dideskripsikan seperti yang dirunut di Wilkipedia. 25 Januari 1981 menjadi hari kelam bagi kapal ini beserta isinya. KMP Tampomas II bertolak dari Dermaga Tanjung Priok hari Sabtu, 24 Januari 1981 Pukul 19.00 WIB dengan tujuan Ujungpandang, perjalanan seyogyanya memakan waktu 2 hari 2 malam di atas laut, sehingga diperkirakan hari Senin, 26 Januari 1981 Pukul 10.00 WIB akan tiba. Tentu saja, 26 Januari itu tidak pernah tiba melainkan kabar duka pada hari sebelumnya.

Berdasarkan berita yang dilansir Kompas.com , KM Tampomas II mengangkut 1.054 penumpang dan 82 awak kapal. Subhanallah, tenggelamnya kapal ini bukan saja menjadi duka bagi Maritim Indonesia melainkan juga dunia, sebagai bencana terburuk ketiga dunia pada masa itu. Ahh, sudahlah saya tidak pintar cerita. Mending simak tulisan Pak Dahlan Iskan yang….. hemm, kamu tahu deh gimana kalau Pak Dahlan sudah angkat pena…. siapin tisu, banyakin doa. Kengerian itu, ibarat menggeret neraka turun ke bumi.

tampo2

TEMPO Edisi. 50/X/07 – 13 Februari 1981

Perjalanan ini
terasa sangat menyedihkan




.
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin
Tuhan mulai bosan melibat tingkah kita
Yang selalu salah dan
Bangga dengan dosa-dosa







BELUM lagi seperempat jam lagu Ebiet G. Ade itu selesai dinyanyikan biduanita Ida Farida, penumpang KM Tampomas II panik. “Api!, api!,” pekik mereka. Dan asap tebal dari bagian belakang kapal milik PT Pelni itu mengurung mereka.

Itu terjadi sekitar pukul 22.15 hari Minggu 25 Januari. Kecuali yang tinggal di restauran dan asyik mendengarkan band serta suara Ida itu, sebagian besar penumpang baru saja memasuki kamar masing-masing. Tapi segera mereka menghambur ke luar.

Dari pengeras suara, terdengar perintah untuk menggunakan pelampung. Para penumpang di dek, hiruk-pikuk berebut alat berwarna kuning itu. Belum lagi sejam berdiri di anjungan, kaki udah tak kuat merasakan panas. Api di dek bawah rupanya sudah menyundulkan sengatnya. Para penumpang kembali berebut potongan-potongan kayu untuk alas kaki mereka.

Siapa orang pertama yang melihat kebakaran itu masih belum diketahui. Yang jelas, dia adalah awak kapal yang malam itu bertugas di bagian mesin.
“Saya terima laporan pertama dari dia,” ujar Hadi Wiyono, masinis III yang malam itu berada di posnya, di anjungan, sebagai perwira piket.

Laporan itu disampaikan lewat interkom, alat penghubung dari ruangan ke ruangan. “Ada kebakaran di car deck (dek tempat mobil),” bunyi laporan tadi seperti ditirukan Hadi pada TEMPO. Hadi ganti meneruskan laporan itu ke nakoda, Kapten Abdul Rivai. Sebagai “penguasa tunggal” di kapal berbobot mati 6.139 BRT itu,
Rivai memerintahkan agar api disemprot dengan alat pemadam kebakaran yang ada.

“Tapi karena sudah penuh asap, saya menyemprot sekenanya saja,” ujar Sudibyo, perwira di bagian listrik. “Dan karena mata sudah tidak kuat lagi saya menyelamatkan diri. Sebenarnya belum semua isi tabung habis,” katanya lagi.

Tampomas II toh masih terus berjalan, dengan kecepatan 15 knot atau sekitar 25 km/jam. Untuk menghindari kebakaran menjalar ke mesin, Rivai memerintahkan agar mesin dimatikan. Tapi lantaran semua penerangan ikut padam penumpang bertambah panik. “Ada beberapa orang yang langsung terjun ke laut,” ujar Kasim, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA) Ujungpandang yang baru saja menghadiri Porseni dan Wisuda sarjana STIA se-Indonesia di Jakarta dengan 80 orang anggota rombongan, termasuk istri para sarjana baru.

“Yang terjun malam itulah yang banyak meninggal,” kata Kasim pula. Ia menyebut sebagian besar grup penari dalam rombongan STIA yang terjun malam itu tidak tertolong lagi.

Setelah menerima laporan bahwa kebakaran tidak bisa dipadamkan, Rivai memerintahkan untuk menghidupkan mesin. “Rivai bermaksud membawa Tampomas II ke pulau terdekat,” ujar sumber TEMPO di Ditjen Perhubungan Laut, mengutip hasil pemeriksaan oleh suatu tim resmi atas ABK yang selamat. Mesin hidup, tapi cuma
sebentar, karena terjadi ledakan di dek mobil.

Hadi Wiyono memperkirakan sekitar 20-an awak kapal meninggal karena terkurung di dalam ruang mesin. Dari sinilah kemudian beredar kabar terjadinya konflik antara Rivai dengan markonis, perwira yang bertugas di bagian komunikasi.

Markonis Odang Kusdinar, kabarnya sudah minta izin kepada Rivai untuk segera mengirim berita SOS ketika laporan kebakaran diterima dari perwira piket. Tapi Rivai konon memilih lebih baik tak mengirimkan sinyal SOS dulu — yang memang tak dapat dilakukan sembarangan, karena akan merepotkan kapal di seluruh dunia. Yang perlu, api dihabisi segera. Tapi upaya memadamkan api ternyata tidak berhasil. Satu-satunya jalan yang tinggal mengirimkan berita kebakaran itu ke radio pantai.

Tapi sudah terlambat. Alat komunikasi yang ada tidak bisa digunakan lagi. Dan Odang sendiri, entah kenapa, sewaktu dicari sudah tidak ada di kapal. (lihat box).

Rivai, sebagaimana dikatakan Hadi Wiyono, kemudian mengambil “bola api” sebagai jalan terakhir untuk memberitahukan bahwa di situ ada kapal dalam keadaan bahaya. “Bola” itu sebesar bola tennis. Kalau dilemparkan ke atas, akan meledak dan menimbulkan cahaya ultra violet yang tajam — sebagai tanda SOS. “Anehnya bola api itu tidak meledak di udara,” ujar Hadi Wiyono pasti.

Lantaran bagian tengah kapal semakin panas, para penumpang berlomba mencapai tempat paling tinggi di anjungan atau haluan. Seorang penumpang, pemuda keturunan Arab bernama Nur Abdullah, kemudian berteriak dari haluan agar ada di antara yang di anjungan — tempat paling tinggi — mengumandangkan adzan. Maksudnya untuk meredakan angin dan gelombang, sebagaimana biasa dilakukan nelayan Bugis. “Tapi terdengar justru takbir beramai-ramai, sehingga mirip malam lebaran,” keluh Nur
Abdullah.

Sepanjang malam pertama itu mereka tidak bisa melihat apa-apa lagi. Kecuali gelap dan asap.

FAJAR hari Senin telah menyingsing. Seluruh cakrawala kelihatan tcrang. Kapal KM Sangihe terus melaju dengan kecepatan 10 knot dari arah Ujungpandang ke Surabaya. Sebagaimana biasa, begitu fajar datang pertama-tama yang harus dilakukan mualim kapal adalah melihat sekeliling cakrawala dengan teropong. Dan pagi itu Mualim I Sangihe, J. Bilalu, melihat ada asap mengepul di arah barat. “Kap!”, Bilalu memanggil Agus K. Sumirat, Kapten Kapal Sangihe, “boleh juga tuh Pertamina. Dia bisa dapatkan sumur minyak baru lagi,” kata Bilalu sambil menuding asap yang
dia lihat. Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB.

Karena di seluruh cakrawala tidak ada pemandangan lain, sebentar-sebentar mata Kapten Sumirat melihat ke sana — yang kebetulan memang berada di arah yang akan dilewati.

Satu jam kemudian Bilalu kembali meneropong asap yang sudah kian mendekat. “Kap!. Asap itu dari kapal. Bukan pengeboran minyak Pertamina,” pekik mualim itu. “Kita menuju ke sana,” sahut Kapten Sumirat.

Pagi itu udara cukup cerah untuk ukuran Januari yang biasanya selalu berkabut tebal. Sangihe terus melaju untuk melihat kapal apa yang mengeluarkan asap itu. Tepat pukul 07.35, Bilalu bisa membaca tulisan di kapal itu meskipun belum jelas benar Tampomas II.

Para penumpang Tampomas II juga sudah melihat kedatangan Sangihe. Hadi Wiyono segera mencari cermin di kamar penumpang untuk di-”soklehkan” ke arah Sangihe datang.

Saat itu juga Markonis Sangihe, Abubakar, diperintahkan untuk memberitahu Radio Pantai mana saja yang bisa dihubungi. Abubakar memutar-mutar saluran radio di ruang Markonis yang berdampingan dengan ruang kemudi itu. “Tiga menit kemudian saya bisa berhubungan dengan Radio Jakarta, memberitahukan bahwa KM Tampomas II terbakar,” ujar Abubakar.

Memang hanya itu yang bisa diberitahukan. Sangihe sendiri masih belum pasti, apakah Tampomas II perlu pertolongan darurat. Hanya Sangihe terus mendekat dan Kapten Sumirat mengumpulkan awak kapal untuk bersiap-siap melakukan pertolongan.

Tapi begitu jarak tinggal dua kilometcr, Sumirat melihat para penumpang sudah berada di atas kapal. “Kirim SOS”, perintah Sumirat pada Abubakar, lewat lubang kecil yang menghubungkan ruang markonis dengan ruang kemudi. “Pukul 08.15 persis saya kirim SOS dengan morse,” ujar Abubakar. Dengan demikian diharapkan seluruh kapal dan stasiun pantai menangkap sinyal SOS dari Sangihe itu.

Sangihe terus mendekat, pelan-pelan Dilihat oleh Sumirat, Tampomas sudah buang jangkar. Berarti Sangihe bisa lebih dekat lagi tanpa takut terjadi tabrakan “Saya kelilingi dulu Tampomas untuk melihat dari arah mana bisa mendekat,” ujar Sumirat. “Untuk tender (merapat) dari lambung kanan jelas tidak bisa, karena asap mengarah ke kanan. Tapi mau fender di lambung kiri juga susah, karena ada tali jangkar yang kalau tertabrak bisa putus dan berbahaya,” tambahnya.

Ada kesulitan lain yang lebih menghambat lagi. KM Sangihe sendiri sebenarnya dalam keadaan sakit. “Kalau kapal ini normal, kami tidak akan lewat sini,” ujar Sumirat.

Sangihe mestinya harus membawa 900 ekor sapi dari Pare-Pare ke Padang. Tapi karena mesin rusak, ia nongkrong dulu di Pare-Pare sampai 6 hari. Akhirnya bisa juga jalan — tapi Sumirat minta agar kapal itu dibawa dulu ke Surabaya untuk dinaikkan dok. “Itulah sebabnya saya tidak berani ambil jalan lurus ParePare-Surabaya, tapi menyusuri dulu pantai Sulawesi. Kalau saya ambil jalan lurus tidak akan ketemu Tampomas,” kata Sumirat.

Itu bukan kerusakan satu-satunya. KM Sangihe sebenarnya punya 3 mesin pembangkit listrik — tapi tinggal sebuah yang masih hidup. “Akibatnya saya tidak bisa melakukan manouver (olah gerak),” ujar Sumirat. “Kalau tidak bisa melakukan olah gerak, bagaimana bisa tender, ” katanya pula.

Sumirat, 46 tahun, sebenarnya sudah tiga kali berpengalaman melakukan tender di tengah laut. “Tapi kali ini benar-benar tidak bisa,” katanya. “Kapten Rivai, Nakoda Tampomas, adalah teman sekelas saya, di AIP. Bayangkan bagaimana perasaan saya setelah tidak berhasil merapat di kapalnya.”

Setelah tidak mungkin melakukan tender di lambung kanan dan kiri, Sumirat memutuskan untuk “parkir” di depan Tampomas dengan harapan bisa mendekat dari arah depan. Ketika jarak tinggal 300 meter lagi, Sumirat memerintahkan buang jangkar sepanjang 6 segel (142 meter).

Dengan demikian jarak kedua kapal itu tinggal sekitar 150 meter. Sumirat sekali lagi memerintahkan untuk melepaskan dua segel lagi, sehingga jarak keduanya tinggal sekitar 100 meter.

Seorang ABK (Anak Buah Kapal) Sangihe mencoba melemparkan tali ke Tampomas. Tapi tak sampai. ABK yang lain kemudian mengambil pistol khusus yang dipakai untuk menembakkan tali “Tapi sungguh aneh, pistol itu mejen,” ujar Husin Hamzah, ABK Sangihe asal Gombong.

Sementara itu dari arah Tampomas, sudah ada tali yang hanyut. Seorang ABK Sangihe kemudian melemparkan tali ke arah tali yang hanyut tadi berhasil menyangkut. Tali Tampomas itu ditarik pelan-pelan, kemudian diikatkan di KM Sangihe. Jarak antara
kedua kapal bisa lebih diperpendek lagi. Tapi tali itu terancam putus kalau terus ditarik, sementara semakin siang gelombang semakin besar.

Karena itu, Sumirat menghendaki ada dua tali. “Siapa yang berani membawa tali ini ke sana?” ujar Sumirat. Seorang pemuda yang menumpang Kapal Sangihe tiba-tiba maju, menyediakan dirinya. “Saya tidak tahan lagi mendengar jeritan mereka,” ujar Youce Freddy, 20 tahun, pemuda asal Manado yang akan cari kerja di Jakarta.

Penumpang yang sudah berkumpul di haluan Tampomas kedengaran riuh sekali, memang. “Panas!, Panas! Neraka!, 
. Cepat kirim air!”, teriak mereka bersahut-sahutan. Sebagian tidak sabar lagi lantas menerjunkan diri ke laut –hanyut ke arah Sangihe.

Persiapan mengirim Youce segera dilakukan. Tali yang akan dibawa Youce diikatkan di pinggangnya, agar kalau ia terjatuh bisa ditarik kembali. Waktu itu sudah pukul 12.00 siang. Youce mulai merambat sambil bergantung di tali pertama.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan keberaniannya, pemuda itu maju pelan-pelan pada tambang. Selamat! Youce sampai di Tampomas II. Langsung ia mengikatkan tali itu. Tapi ia kaget. “Saya terkejut sekali. Begitu sampai di Tampomas saya lihat sekitar 20-an mayat berserakan di geladak,” katanya.

Mayat itu sudah berwarna hitam. Di antaranya seorang wanita tetap dalam keadaan merangkul anaknya yang berumur sekitar 3 tahun.

Tali yang dibawanya tadi sudah terikat di Tampomas. Tapi malang, belum selesai ditarik kencang, tali pertama sudah putus. Akibatnya Sangihe hanyut, lalu membentur Tampomas. Tali kedua pun putus. Semakin siang gelombang memang semakin besar, sehingga Sangihe terhempas menjauh dari Tampomas.

Sementara hubungan tali tadi diusahakan, dua buah sekoci diturunkan. Sebenarnya ada empat sekoci di Sangihc. Tapi hanya satu mesin listrik yang hidup yang hanya cukup untuk menurunkan dua sekoci. Itupun yang satu putus dan hanyut.

Satunya lagi langsung diserbu oleh penumpang yang terjun dari Tampomas. Ada 8 awak kapal Sangihe yang diturunkan dalam sekoci itu untuk membantu para korban naik ke sekoci. Setelah penuh, sekoci ditarik dan para korban dinaikkan ke Sangihe.

Sekoci itu pun sekali lagi diluncurkan dan sebentar saja juga sudah penuh pula ada 158 orang yang akhirnya diselamatkan KM Sangihe sepanjang hari Senin itu. Semuanya dalam keadaan sehat — kecuali luka bakar di kaki mereka.

Upaya untuk mendekat Tampomas lagi sudah tak mungkin. Gelombang semakin besar. Tali temali juga sudah habis. Sangihe kini hanya “menghadang” saja korban yang hanyut ke arah kapal itu. Di lampung kiri Sangihe memang ada tangga yang terus terpasang. Tiga orang awak kapal menggelantung di tangga itu sambil menyaut
korban yang hanyut di dekatnya.

Sampai Senin sore itu, belum ada kapal lain yang datang. Tapi beberapa kapal diberitakan sedang menuju tempat itu. Markonis Abubakar sepanjang hari itu tidak henti-hentinya berteriak-teriak di kamarnya. Ia melayani pertanyaanpertanyaan
dari berbagai instansi.

“Mestinya kami kan cukup menjawab salah satu instansi saja, lantas yang lain menanyakan ke instansi tadi,” tutur Abubakar. Suaranya sudah hampir tidak kedengaran karena 24 jam secara nonstop berteriak. “Sampai-sampai sebuah radio kami sekarang rusak” tambahnya.

Sumirat, Kapten kapal yang berwajah seperti bintang film Koesno Soedjarwadi itu hanya menunduk sedih, ketika ditanya bagaimana pendapatnya tentang kecaman para penumpang Tampomas yang menggambarkan seolah-olah Sangihe penakut. “Apa pun pendapat orang, akan saya terima dengan lapang dada. Saya memahami perasaan mereka, yang sudah begitu dekat dengan Sangihe, tapi tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Sumirat.

Mereka tak bisa berbuat-apa-apa — termasuk melawan haus dan panas.

Sepanjang Senin itu, tidak ada hujan di sekitar Tampomas. Pernah sekitar pukul 15.00 ada satu dua titik air dari langit, tapi tidak sampai membasahi mereka. “Kalau ada hujan tentu mereka tertolong sekali. Ketika ada gerimis saja mereka pada menengadahkan wajahnya ke langit supaya bisa basah,” ujar seorang pelaut yang menyaksikan detik-detik itu.

Tapi setelah lepas tengah hari, mendung dan kabut memang semakin tebal. Dan ketika senja telah tiba, Sangihe menjauh dari Tampomas sampai sekitar 1.300 meter, diikuti sumpah serapah penumpang yang masih penasaran di Tampomas. “Semata-mata lantaran khawatir, kalau terjadi benturan di waktu malam,”
bantah Sumirat.

Malam itu KM Ilmamui, juga milik Pelni, yang baru datang pada pukul 21.00, langsung parkir sekitar 2 km dari Tampomas. Ilmamuilah yang meneruskan pemberitahuan SOS dari Sangihe keberbagai stasiun radio pantai.

Empat jam kemudian, pukul 01.00 dini hari, Selasa 27 Januari, datang lagi kapal tangker Istana VI. Istana juga langsung parkir di sebelah Ilmamui. Dua kapal lagi malam itu datang di Masalembo: Adhiguna Karunia dan Senata. Semuanya langsung lego jangkar, menbentuk barisan sekitar dua kilometer dari Tampomas.

tampo3

                                                 Nakhoda Tampomas II, Kapten Abdul Rivai

 

Keesokan harinya mereka bergerak maju. Istana VI, karena penuh muatan minyak, punya kelebihan sebagai penolong: memudahkan para korban naik ke kapal itu lantaran dindingnya rendah. Ada 144 orang yang diselamatkan Istana VI di samping 4 jenasah.

Kapal yang paling banyak menyelamatkan para korban adalah KM Sengata, milik PT Porodisa Lines. Kapal khusus pengangkut kayu bulat dari Kalimantan ke Taiwan atau Jepang ini memang punya perlengkapan khusus, berupa jaring yang bisa dipasang di
sepanjang lambung kanan dan kiri. Banyak korban yang selamat karena cepat meraih jaring itu, kemudian memanjat naik. Akhirnya tercatat 169 korban yang tertolong di sini, plus dua mayat.

Para korban juga banyak memuji Sengata, karena keberaniannya mendekat Tampomas. Kapal ini sempat beberapa detik merapat di Tampomas dan 6 orang memanfaatkannya. “Begitu dekat saya loncat” ujar Sudibyo, 38 tahun, perwira listrik Tampomas II yang bisa mermantaatkan kesempatan emas itu.

Sampai pukul 12.00 hari itu juga tidak ada turun hujan. Tapi kabut dan angin terus menjadi hambatan. Pukul 12.30, tiba-tiba ada ledakan di bagian belakang dan Tampomas II mulai miring. Di bagian belakang kapal ini ada 12 tabung besar berisi Elpiji yang biasa dipakai untuk dapur. Tampomas II memang satu-satunya kapal di Indonesia yang menggunakan Elpiji. “Begitu miring banyak penumpang longsor bertindihan,” ujar Youce yang terus berada di Tampomas II sampai saat terakhir. Youce kemudian berenang menuju Sengata.

Hanya 20 menit kemudian Tampomas II tenggelam, mulai dari pantatnya. Tapi tenggelamnya haluan kapal itu tidak kelihatan dari kapal lain, karena cuaca diguyur hujan lebat sekali. Saat itu ada pertanyaan masuk ruang markonis menanyakan bagaimana posisi Tampomas. “Dijawab bagaimana, kap” tanya Abubakar.
“Karena tidak kelihatan, saya suruh jawab saja: sedang menuju ke dasar laut,” ujar Sumirat.

Begitu hujan reda, Tampomas II memang sudah tidak kelihatan. “Anehnya keadaan cuaca berubah jadi cerah sekali,” ujar Sumirat. Tinggal di sana sini tampak orang terhanyut — sisa-sisa sebuah perjalanan yang sangat menyedihkan.

Sumber:dahlaniskan.net

***Tulisan sengaja saya copas, supaya ngga ribet search dan googling lagi.

Read Full Post »

Indonesia, Engkaulah Surga!
Penjelajahan demi penjelajahan, riset demi riset mengantarkan kakiku berpijak pada bumi yang demikian kaya sumber daya alamnya, Indonesia. Tim ilmuwan dari Museum Zoologi Bogor, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lousiana State University, dan Museum Victoria mengungkap genus baru tikus, yang disebut tikus hidung babi. Aku bersama tim menelisik satu persatu, mengeliminasi ketidakmungkinan, dan Alhamdulillah menemukan kelompok genus baru ciptaan Allah ini.

 
Genus baru itu ditemukan di hutan perawan wilayah Tolitoli, Sulawesi, yang jarang dijamah. Hanya satu dua pencari rotan yang mencapai wilayah itu. Temuan ini memberi pengetahuan tentang penyebaran tikus celurut untuk pertama kalinya di kawan tersebut. Saat ini, diketahui sebagian besar ditemukan di bagian tengah Sulawesi. Sebelumnya, hanya dikenal 1 jenis celurut di semenanjung utara, namun sekarang sudah bertambah lagi penemuan jenis H. Stuempkei. Unik banget, mengingat jenis ini endemik hanya di Sulawesi dan Filipina. Riset dipublikasikan di Journal of Mammalogy edisi Oktober 2015.
Aku bersama rekan lainnya yaitu Anang Setiawan Achmadi, Jake Esselstyn dan Kevin Rowe sedang melakukan ekspedisi penelitian ke hutan wilayah Gunung Dako ketika menjumpai genus tikus itu pada tahun 2012. Secara ilmiah, tikus baru ini dinamai Hyorhinomys stuempkei. Nama genus “Hyorhinomys” diambil dari kata “hyro” yang berarti “babi”, “rhino” yang berarti “hidung”, dan “mys” yang berarti “tikus”. Ciri lainnya adalah adanya rambut yang sangat panjang di bagian dekat saluran kencing. Karakteristik unik lain dari tikus baru ini adalah gigi serinya yang putih. Kebanyakan tikus memiliki gigi seri oranye. Sementara itu, telinganya juga besar. Temuan tikus ini menantang pandangan ilmuwan tentang penyebaran celurut di Sulawesi saat ini. Sejauh ini, celurut dikatakan hanya menyebar hingga wilayah Sulawesi bagian tengah dan di dataran rendah. Begitulah kisah romantika bersama mahkluk yang satu ini. Di luar dugaan, mengagumkan!

heru
SUKA-DUKA
Sebagai anak bangsa yang dibesarkan oleh kultur Indonesia yang bhineka namun bermayoritas muslim, aku terbiasa dengan adat ketimuran. Mulai dari tutur, watak dan budaya. Sepintas, kemajuan di Negara semisal Australia, menjadi dambaan semua bangsa. Hidup nyaman, bersih, disipilin, serius tapi santai dan berdedikasi pada ilmu pengetahuan. Bisa dibilang, culture shock tidak terlalu aku rasakan mengingat sudah 3 tahun belakangan ini aku riset bersama mereka (teman-teman mancanegara). Jadi aku tidak terlalu kesulitan memahami budaya dan menempatkan diri.
Aku hanya perlu beradaptasi untuk perihal transportasi dan pembiasaan pemenuhan makanan halal. Beruntungnya, aku mendapat pembimbing yang baik hati. Dia dengan ramah memperkenalkan aku dengan kehidupan setempat. Mereka juga orang yang toleran dengan keberagaman dan tidak suka membedakan orang berdasarkan agama. Profesionalitas kerja adalah yang paling utama. Bahkan saat terjun kelapangan pun mereka selalu tahu apa yang boleh dan tidak boleh bagiku selaku muslim yang memiliki rambu halal haram. Kehororan hidup di dunia Barat, setidaknya dalam hal ini Australia, sepertinya ‘lebay’ di digemborkan social media saja.
Atas pengalaman ini, saya merasa perlu mengambil yang baik-baiknya dari dunia Barat, terutama kemajuan teknologi dan kepedulian dalam bidang pendidikan. Selama tidak melanggar tata syariah, kenapa tidak ? Justru dengannya islam akan maju dengan caranya sendiri yang khas, menciptakan pesona baru dan kita makin bangga menjadi seorang muslim. Wallahu’alam [Seperti yang diceritakan Heru Handika kepada Redaksi/Alga Biru]

Read Full Post »

Satu keputusan dalam hidup mengubah serangkaian kisah yang tak terlupakan. Itulah yang aku rasakan. Bisa dibilang, awalnya aku nggak minat-minat amat dengan bidang yang aku tekuni saat ini. Aku tidak pernah memimpikan akan jadi sarjana sains biologi. Seingatku, baru detik-detik terakhir aku mengisi formulir SNMPTN, pilihanku tertuju pada bidang itu. Voila! Jadilah aku seorang mahasiswa yang berkutat dengan ilmu pengetahuan hayati ini.

her
Semester demi semester di bangku perkuliahan di Universtias Andalas, aku mengerucut keahlianku untuk riset seputar tikus. Ternyata keistimewaan hewan satu ini membawa berkah tersendiri, dan petualangan hingga detik ini. Ketertarikan ini kemudian mengantarkanku keliling nusantara, bahkan sampai keluar negeri, sekedar masuk hutan yang terkadang sampai hitungan bulan, mencari tikus pula. Hijaunya hutan-hutan di Sulawesi, sejuknya gunung-gunung di Jawa, kedamaian Sumatera, lepasnya pandangan di datarnya Pulau Kalimantan, dan indahnya Filipina. Juga kini, bisa melanjutkan studi master di salah satu Top University di dunia, dan mendapat kesempatan merasakan kota yang mendapat anugrah “the most liveable city in the world”, Melbourne Australia.
Ya, melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mulai Juli 2015 sampai sekarang aku aktif menjadi mahasiswa Master of Science di University of Melbourne, Australia dan menghabiskan waktu saya riset mamalia kecil di Museum Victoria, Melbourne, Australia.

 

Indonesia, Engkaulah Surga!
Penjelajahan demi penjelajahan, riset demi riset mengantarkan kakiku berpijak pada bumi yang demikian kaya sumber daya alamnya, Indonesia. Tim ilmuwan dari Museum Zoologi Bogor, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lousiana State University, dan Museum Victoria mengungkap genus baru tikus, yang disebut tikus hidung babi. Aku bersama tim menelisik satu persatu, mengeliminasi ketidakmungkinan, dan Alhamdulillah menemukan kelompok genus baru ciptaan Allah ini.

 

 

(Bersambung….)

Read Full Post »

Older Posts »

Febrianti Almeera

"Never Ending Learn to be a Great Muslimah"

SEKOLAH MOTIVASI

Jalan menuju "Pengembangan diri"

The Work of Wiryanto Dewobroto

. . . sebab dari buahnya, pohon itu dikenal.

Saatnya Bercerita

Jangan pernah menulis sesuatu yang kelak akan membuatmu menyesal

J'Ă©tais Parisienne

moved to : https://jetaisparisienne.com

Nurbaiti-Hikaru's Blog

Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti

fattahrumfot.writings

Tinta-Tinta Gagasan

Life Journey

growing into the person I am here today

bocahbancar.wordpress.com/

A Social Worker, A Great Dreamer

melquiadescaravan

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

Journey of Sinta Yudisia

Writing is Healing. I am a Writer & Psychologist.

Jiwa yang Pergi

Catatan hati dan pikiran setelah anakku mengakhiri hidupnya

What an Amazing World!

Seeing, feeling and exploring places and cultures of the world

Kajian Timur Tengah

dan Studi Hubungan Internasional

Life Fire

Man Jadda Wajada | Dreams will be achieved when we truly believe in our heart ˆ⌣ˆ

Febrianti Almeera

"Never Ending Learn to be a Great Muslimah"

SEKOLAH MOTIVASI

Jalan menuju "Pengembangan diri"

The Work of Wiryanto Dewobroto

. . . sebab dari buahnya, pohon itu dikenal.

Saatnya Bercerita

Jangan pernah menulis sesuatu yang kelak akan membuatmu menyesal

J'Ă©tais Parisienne

moved to : https://jetaisparisienne.com

Nurbaiti-Hikaru's Blog

Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti

fattahrumfot.writings

Tinta-Tinta Gagasan

Life Journey

growing into the person I am here today

bocahbancar.wordpress.com/

A Social Worker, A Great Dreamer

melquiadescaravan

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

Journey of Sinta Yudisia

Writing is Healing. I am a Writer & Psychologist.

Jiwa yang Pergi

Catatan hati dan pikiran setelah anakku mengakhiri hidupnya

What an Amazing World!

Seeing, feeling and exploring places and cultures of the world

Kajian Timur Tengah

dan Studi Hubungan Internasional

Life Fire

Man Jadda Wajada | Dreams will be achieved when we truly believe in our heart ˆ⌣ˆ