Indonesia, Engkaulah Surga!
Penjelajahan demi penjelajahan, riset demi riset mengantarkan kakiku berpijak pada bumi yang demikian kaya sumber daya alamnya, Indonesia. Tim ilmuwan dari Museum Zoologi Bogor, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lousiana State University, dan Museum Victoria mengungkap genus baru tikus, yang disebut tikus hidung babi. Aku bersama tim menelisik satu persatu, mengeliminasi ketidakmungkinan, dan Alhamdulillah menemukan kelompok genus baru ciptaan Allah ini.
Genus baru itu ditemukan di hutan perawan wilayah Tolitoli, Sulawesi, yang jarang dijamah. Hanya satu dua pencari rotan yang mencapai wilayah itu. Temuan ini memberi pengetahuan tentang penyebaran tikus celurut untuk pertama kalinya di kawan tersebut. Saat ini, diketahui sebagian besar ditemukan di bagian tengah Sulawesi. Sebelumnya, hanya dikenal 1 jenis celurut di semenanjung utara, namun sekarang sudah bertambah lagi penemuan jenis H. Stuempkei. Unik banget, mengingat jenis ini endemik hanya di Sulawesi dan Filipina. Riset dipublikasikan di Journal of Mammalogy edisi Oktober 2015.
Aku bersama rekan lainnya yaitu Anang Setiawan Achmadi, Jake Esselstyn dan Kevin Rowe sedang melakukan ekspedisi penelitian ke hutan wilayah Gunung Dako ketika menjumpai genus tikus itu pada tahun 2012. Secara ilmiah, tikus baru ini dinamai Hyorhinomys stuempkei. Nama genus “Hyorhinomys” diambil dari kata “hyro” yang berarti “babi”, “rhino” yang berarti “hidung”, dan “mys” yang berarti “tikus”. Ciri lainnya adalah adanya rambut yang sangat panjang di bagian dekat saluran kencing. Karakteristik unik lain dari tikus baru ini adalah gigi serinya yang putih. Kebanyakan tikus memiliki gigi seri oranye. Sementara itu, telinganya juga besar. Temuan tikus ini menantang pandangan ilmuwan tentang penyebaran celurut di Sulawesi saat ini. Sejauh ini, celurut dikatakan hanya menyebar hingga wilayah Sulawesi bagian tengah dan di dataran rendah. Begitulah kisah romantika bersama mahkluk yang satu ini. Di luar dugaan, mengagumkan!
SUKA-DUKA
Sebagai anak bangsa yang dibesarkan oleh kultur Indonesia yang bhineka namun bermayoritas muslim, aku terbiasa dengan adat ketimuran. Mulai dari tutur, watak dan budaya. Sepintas, kemajuan di Negara semisal Australia, menjadi dambaan semua bangsa. Hidup nyaman, bersih, disipilin, serius tapi santai dan berdedikasi pada ilmu pengetahuan. Bisa dibilang, culture shock tidak terlalu aku rasakan mengingat sudah 3 tahun belakangan ini aku riset bersama mereka (teman-teman mancanegara). Jadi aku tidak terlalu kesulitan memahami budaya dan menempatkan diri.
Aku hanya perlu beradaptasi untuk perihal transportasi dan pembiasaan pemenuhan makanan halal. Beruntungnya, aku mendapat pembimbing yang baik hati. Dia dengan ramah memperkenalkan aku dengan kehidupan setempat. Mereka juga orang yang toleran dengan keberagaman dan tidak suka membedakan orang berdasarkan agama. Profesionalitas kerja adalah yang paling utama. Bahkan saat terjun kelapangan pun mereka selalu tahu apa yang boleh dan tidak boleh bagiku selaku muslim yang memiliki rambu halal haram. Kehororan hidup di dunia Barat, setidaknya dalam hal ini Australia, sepertinya ‘lebay’ di digemborkan social media saja.
Atas pengalaman ini, saya merasa perlu mengambil yang baik-baiknya dari dunia Barat, terutama kemajuan teknologi dan kepedulian dalam bidang pendidikan. Selama tidak melanggar tata syariah, kenapa tidak ? Justru dengannya islam akan maju dengan caranya sendiri yang khas, menciptakan pesona baru dan kita makin bangga menjadi seorang muslim. Wallahu’alam [Seperti yang diceritakan Heru Handika kepada Redaksi/Alga Biru]