(Bakal panjang nih, nyeduh teh dulu sono)
.
.
.
Cyduk!
Rasa dendam menjalar. Bahkan hingga di halaman 123, belum-belum juga ketahuan, apa sih makhluk yang berhasil ditemukan Edmond Kirsch. Apa semacam sel berukuran mega-DNA sebagai asal mula segala sesuatu. Ataukaah kotak pembentur partikel yang mampu menstimulasi Big Bang secara sintetis. Atau ini lelucon The Real Slim Shaddy yang memproduksi ribuan Eminem berkostum putih-putih, yang sama mahirnya berkata kotor.
Ini kali pertama saya melarutkan diri untuk Dan Brown. Yes, slice by slide, every single moment. Enam karya Brown lainnya, pernah coba-coba saya baca, tapi kok nggak masuk otak ya. Hehe. Abaikan! Saya tidak harus merasa lebih keren dengan membaca penulis-penulis sohor. Tapi yang ini saya tertarik, sejak awal. Judulnya, topik, latar, sesi pembuatan, membuat penasaran.
Origin. Cerita ini dimulai dari pertemuan Edmond Kirsch dengan tiga pemuka agama dunia, mewakili Kristen, Yahudi dan Islam. Mereke bertemu di Perpustakaan Montserrat yang legendaris. Kirsch, hendak mempresentasikan sampel temuannya, yang konon menjawab asal mula kehidupan. Ketiga pemuka agama itu gusar bukan main. Nasib agama dan spiritual seolah diambang kehancuran. Tidak diceritakan, alias secara sengaja dirahasiakan oleh penulis, something macam apa yang akan diumumkan Kirsch kepada dunia.
“Orang-orang paling berbahaya di bumi adalah orang-orang saleh, terutama ketika Tuhan mereka diserang” (Origin)
Di sisi lain, kelompok rahasia beraliran Kristen tertentu menyusun rencana. Kelompok elit, sangat konservatif, merekrut para anggotanya dengan membawa janji-janji suci. Sosok elegan, taat, bertangan dingin, diwakili tokoh Luis Avila, yang tergabung ke dalamnya.
Teroris Kristen, begitukah? Tentu saja, Brown tidak sevulgar itu. Dia tahu bagaimana ‘aturan main’. Semakin halus sapuan narasi, semakin dia mampu menggiring orang banyak. Itu soal isi cerita, silakan dibaca sendiri kelanjutannya.
Ada beberapa catatan dialog, yang menjadi titik kritis untuk saya pikirkan lebih banyak.
“Apa dua pertanyaan fundamental yang diajukan umat manusia sepanjang sejarah kita?” Kirsch bertaya kepada sahabat lamanya, Robert Langdon.
“Yah, pertanyaannya adalah : Bagaimana semuanya ini bermula? Dari mana asal kita?”
(Origin, halm 65)
Loh pertanyaan macam apa ini? Sekolah-sekolah kekinian tampaknya semakin tidak ingin menjawab dialog semacam ini. Mungkin terlalu sakral, jadi silakan dicari masing-masing. Atau….. Memang semakin tidak dipentingkan lagi? Kita berada di era kemajuan, yang melesat tiada bandingnya. Walhasil, manusia lebih disibukkan seputar itu.
Syaikh Taqqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizomul Islam menjawab khusus piranti-piranti manusia, piranti yang paling rumit, yang beliau sebut ‘uqdatul kubro’. Siimpul besar, yang diisyaratkan sebagai tiga pertanyaan besar: dari mana, mau apa, mau kemana. Jangan salahkan Brown, kalau menyebutnya cuma dua. Brown itu orang kafir, dia tidak mengenal (iman) pada syariat (islam), ya boro-boro sih Buk.
Saya cukup terkesan bagaimana usaha Brown mengurai perkembangan spirtual dari masa ke masa. Jangan-jangan salah satu kepustakaan Brown berasal dari tulisan filsuf “yang entah nggak jelas dia ngomong apa”. Hehe. Semua ini butuh pendekatan narasi yang lebih sederhana untuk ditangkap otak-otak lugu seperti saya. Setidaknya kutipan dialog ini cukup bisa dinalar arahnya:
“Kita adalah makhluk yang ber-evolusi secara intelektual dan berkeahlian teknologi. Kita tidak mempercayai pandai-besi raksasa yang bekerja di perut gunung berapi atau dewa-dewa yang mengendalikan air pasang atau musim. Kita sama sekali tidak seperti nenek moyang kuno kita.” (Origin, halm 98)
Mirip-mirip sebenarnya dengan dagelan filsuf ‘manusia menciptakan agama’. Masih seputar-putar itu, pikir saya.
Di Planetarium ala Edmond Kirsch, Brown menggambarkan perkembangan tuhan-tuhan manusia dari masa ke masa secara visual melalui deskripsi verbal. Sebagai orang Islam, kesakralan “Allah, the only one God” tergolong aman dalam kesanggupan narasi manapun, termasuk Brown. Karena Tuhan saya tidak diwenangi untuk dilukiskan oleh pihak manapun. Sejak awal seharusnya kita berpikir, Tuhan memang tidak serendah itu, bukan?
Salah satu yang menarik lainnya, perspektif Brown tentang neuron. Disini saya tergugu, Brown sudah sampai ke titik itu. Edmond Kirsch berusaha berimajinasi tentang komputer super canggih yang ditanyai seputar urusan-urusan manusia.
Dari mana asal kita?
Kemana kita akan pergi?
Jawaban komputer itu ialah : “DATA TIDAK MENCUKUPI UNTUK RESPONS AKURAT” (Origin, halm 102).
Apa jadinya kalau Dan Brown ikut halqahnya Syaikh Taqqiyuddin? Haishh, pyurrr ngawur. Mereka kan beda zaman, hehe. Masih dari kitab yang sama, tulis Syaikh Taqy rahimakumullah:
“Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah Swt, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Tetapi bukan berarti dapat dikatakan, ‘Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Allah Swt, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah?”.
Lanjut Syaikh Taqy mengenai hal ini : “Usaha manusia untuk memahami hakekat Zat Allah Swt merupakan perkara mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar jangkauan akal. Akal tidak mungkin memahami hakekat yang berada di luar batas kemampuannya. Seharusnya keterbatasan ini justru menjadi penguat iman, bukan sebaliknya malah menjadi penyebab keragu-raguan.”
Soal kalimat terakhir ini, saya sepakat. Bukankah nikmatnya hidup karena ‘misteri di dalamnya’. Dalam masa kenabian pun, permintaan ‘bertemu hakekat Allah ini’ selalu kita temukan. Boro-boro ditampakkan padanya hakekat, nur Allah itu membuat silau mata manusia. Sesilau-silaunya. Singkat kata, matamu tidak berguna di hadapan Allah. Sinyal otakmu tidak kesampaian untuk menjangkau-Nya.
Rentetan pertanyaan lain telah menunggu. Kalaupun Dan Brown membaca karya Syaikh Taqy ini, mungkin dia nggak cukup puas. Memang harus ngaji sih, Om!! Hihihi…. Wuedan, Dan Brown disuruh ngaji. Wiwiiwiw….
Dan Brown meracik topik yang sulit dengan cerita-cerita misteri yang manis. Terlepas kemudian, suka-suka dia mau dibawa kemana. Lebih suka-suka lagi pembacanya, mau dipahami bagaimana. Syaikh Taqy mengilhami banyak murid-muridnya dalam mengurai simpul besar. Pertanyaan fundamental yang membayangi semua manusia, tanpa terkecuali. Simpul besar, gerbang mengenal-Nya yang memiliki sifat yang sembilan puluh sembilan.
Anyaway…. By the way,,, Pertanyaan lampirannya ialah: Kapan murid Syaikh Taqy buat cerita manis semacam ini??! [] Alga Biru
*)Keterangan gambar
Atas : Penerbit Mizan Official
Bawah : Koleksi Pribadi
Saya share di facebook yaa Mba 🙂
Silakan Mba, kripsannya dipersilakan 🙂
saya kira saya doang yang susah mencerna bukunya Dan brown 😀
hehehe. tosss lah. Nggak papa sesekali mikir keras.