(Hikmah dari Pemboikotan Rasulullah Saw)
Kejadian ini berlangsung 3 tahun lamanya, pada bulan Muharram tahun ke-7 kenabian. Rezim panik Bani Quraisy teramat sulit membendung dukungan intelektual dan rekrutmen yang digalang oleh kelompok Rasulullah dan sahabatnya. Dengan tangan kekuasaan yang mereka miliki, penguasa Makkah ini mendokumentasikan kekuatannya di sebuah shahifah (lembaran) berisi sumpah yang kuat, yang berbunyi : “Bahwa mereka selamanya tidakakan menerima perdamaian dari bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka, kecuali bila merekas mau menyerahkan beliau Muhammad Sallahu’alaihi Wassalam untuk dibunuh”.
Ib Al-Qayyim berkata, “Ada yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Manshur bbin Ikrimah bin Amir bin Hasyim. Ada lagi yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Nadhr bin al Harits. Yang benar, penulisnya adalah Baghidh bin Amir bin Hasyim, lalu Rasulullah mendoakan keburukan untuknya dan dia pun mengalami kelumpuhan di tangannya sebagaimana doa beliau. Subahallah! Allahu Akbar!
Shahifah itu digantung di dinding Ka’bah yang menjadi fondasi pemersatu bangsa Arab di masa itu. Dua bani yang terkena delik tersebut tetap melindungi Rasulullah kecuali segelintir orang yang merupakan sepersaudaraan dengan Rasul sendiri, yakni Abu Lahab, maka celakalah tangan Abu Lahab!
Pemboikotan ini sebenarnya tidak mulus ditaati oleh penduduk Makkah, karena sebagian mereka ada yang melakukan dukungan secara sembunyi-sembunyi. Namun, tentu saja penguasa itu bukanlah orang-orang bodoh. Setiap ada saudagar pedagang yang berjualbeli, maka mereka memborongnya. Dan setiap kali bani Abdul Muthalib hendak membeli keperluan hidup, maka mereka menaikkan harga berkali-kali lipat. Strategi penyelamatan jiwa Rasul tetap dilakukan oleh pamannya, Abu Thalib. Setiap kali beliau tidur di ranjangnya, maka secara bergantian dia menyuruh orang lain menggantikan posisi tersebut dalam rangka mengelabui kemungkinan terjadinya usaha pembunuhan.
Tindakan sewenang-wenang ini semakin dirasakan tidak adil oleh khalayak Makkah. Maka berkatalah Hisyam bin Amru dari suku bani Amir bin Lu’ay, yang secara sembunyi-sembunyi menemui Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzumi, “Wahai Zuhair! Apakah engkau tega menikmati makan dan minum, sementara kondisi saudara-saudaramu dari pihak ibu seperti yang engkau ketahui saat ini (kelaparan)?”
“Celaka engkau! Apa yang dapat aku perbuat bila hanya seorang diri? Sungguh demi Allah! Andaikata ada seorang lagi yang mendukungku, niscaya aku robek shahifah perjanjian tersebut”, jawabnya.
“Engkau sudah mendapatkannya!” kata Hisyam
“Siapa dia?” tanya dia
“Aku” kata Hisyam
“Kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”, jawabnya
Lalu Hisyam pergi menuju kediaman al-Muth’im bin Adiy. Dia menyinggung tali kekerabatan yang ada di antara bani Hasyim dan bani al-Muthalib, dua orang putra Abdi Manaf, dan mencela persetujuannya atas tindakan zalim kaum Quraisy. Kepada orang ketiga ini, terjadi pembicaraan yang semirip. Mereka bersepakat mencari pendukung tambahan guna melaksanakan niatan tersebut. Maka didapatlah penyokong berikutnya, Zuhari bin Abi Umayyah. Dari Zuhair, dirinya mengajak Zam’ah bin al-Aswad bin Al-Muthalib bin Asad.
Di tempat yang disepakati, mereka pun berkumpul. Zuhair datang mengenakan pakaian kebesaran, mengelilingi Ka’bah tujuh kali, lalu menghadap khalayak seraya berkata: “Wahai penduduk Makkah! Apakah kalian tega bisa menikmati makanan dan mengenakan pakaian, sementara bani Hasyim binasa? Tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka? Demi Allah, aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan kekerabatan dan amat zalim ini dirobek!”
Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut, “Demi Allah, engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!”
Lalu Zam’ah bin Al-Aswad memotongnya, “Demi Allah! Justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya ketika ditulis waktu itu!”
Abu al-Bukhturury menimpali, “Benar apa yang dikatakan Zam’ah. Kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya.”
Ditambahkan pula oleh al-Muth’im sebagai orang ketiga di antara mereka, “Mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis di dalamnya.”
Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal, “Urusan ini telah diputuskan pada suatu malam dan saat itu telah dimusyawarahkan di tempat selain ini!”
Demikian cekcok berlangsung, mereka semakin bersitegang perihal pemboikotan. Sementara itu, paman Nabi, Abu Thalib, diberitahukan adanya penghancuran shahifah oleh rayap-rayap. Sementara nabi tidak menyaksikan perseteruan itu, nyatalah itu menjadi wahyu bagi beliau. Sang paman masih tanda tanya atas apa yang dipersaksikan pendengarannya. Dia mengatakan, “Ini untuk membuktikan apakah dia berbohong, sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya. Demikian pula sebaliknya, jika dia benar, maka kalian harus membatalkan pemutusan hubungan kekerabatan dan kezaliman terhadap kami.” Mereka berkata kepadanya, “Kalau begitu, engkau telah berlaku adil.”
Dengan perbincangan alot, Al-Muth’im mengambil tindakan tegas dan berusaha merobek shahifah yang tergantung di Ka’bah. Namun apa yang ia lihat, pengejutkan semua orang. Shahifah itu telah hancur berantakan dimakan rayap, kecuali tulisan, “Bismikallah” yang artinya “dengan nama-Mu, ya Allah” dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya. Allahu Akbar!
Kenyataan itu menggemparkan hati nurani dan mengeluarkan suasana pemboikotan menjadi keamanan bagi Rasulullah Saw dan sahabatnya. Meski demikian, orang kafir itu tidak bergeming menyaksikan wahyu yang membenarkan perkataan Rasul terkait kejadian shahifah yang dimakani rayap-rayap itu. Mereka bersikap seperti apa yang difirmankan Allah Swt, “Dan jika mereka (orang-orang musyrik melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, “ini adalah sihir yang terus menerus” (Al-Qamar : 2).
Pacsa Pemboikotan
Sebenarnya, setelah Rasulullah dan sahabat keluar dari rumah-rumah dan berbaur kembali dengan masyarakat, pencercaan Kafir Quraisy tidaklah berkurang. Mereka tetap mengutuk, dan menyusun konspirasi berikutnya. Sedangkan Abu Thalib di masa itu sudah dalam kondisi tua renta, usianya lebih dari 80 tahun. Hal ini mengusik Abu Jahal yang masih berkerabatan dengan Nabi. Dia khawatir, kalau-kalau nanti Abu Thalib wafat malah berpesan dan berwasiat yang macam-macam kepada keponakannya itu. Maka sebelum itu terjadi, para pemuka kaum dan sanak keluarga itu berkumpul. Sudah ada lobi-lobi politik yang disampaikan kepada Abu Thalib, agar Nabi Saw berlembut-lembut kepada urusan agama dan hegemoni kafir Quraisy di Makkah. Abu Thalib pun meminta pertimbangan Nabi Saw, selaku keponakannya. Lalu Nabi Saw berkata, “Wahai pamanku! Kenapa tidak engkau ajak saja mereka kepada sesuatu yang lebih baik untuk mereka”
Dia pun bertanya, “mengajak kepada apa?”
“Ajak mereka agar mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat bangsa Arab dan orang-orang asing tunduk takluk kepada mereka” kata beliau Sallahu Alaihi Wassaalam.
Beliau bersabda, “Kalian ucapkan, laailaha illallah dan kalian cabut sesembahan selain-Nya”
Mendengar kalimat itu tersebut, mereka kebingungan lantas berseru, “Wahai Muhammad, apakah kamu ingin menjadikan ilah-ilah (tuhan-tuhan) yang banyak menjadi satu saja? Sungguh aneh polahmu ini”. Kemudian masing-masing dari mereka kepada yang lainnya, “Demi Allah, sesungguhnya orang ini tidak memberikan yang kalian inginkan. Pergilah dan teruslah dalam agama nenek moyang kalian.” Berkenaan dengan ini pula, turunlah surah Shad ayat 1 sampai 7 yang menggambarkan kesombongan dan kabar kebinasaan yang telah menanti mereka.
Hikmah Pemboikotan
Allah Swt tidak segan mengirimkan tentaranya di langit dan bumi guna menolong agamaNya dan membelalaknya mata orang yang selama ini ragu. Rayap-rayap itu telah merendahkan tangan manusia. Dan Allah Swt berkehendak membuka hati orang-orang di luar Rasulullah Swt untuk membuka jalan kebaikan. Tidak lepas, dari usaha beliau terus mendakwahkan Islam baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Di masa tenang maupun susah. Dakwah ini, sesungguhnya apa yang akan menerangi jalan manusia dan memanusiakan mereka. Sehingga, siapapun mereka, dari berbagai kalangan, selayaknya mendukung dan melindungi Rasul. Namun, ada segelintir orang yang memang congkak dan sombong yang telah beku hatinya untuk menerima kebenaran. Mereka itulah yang kelak akan binasa dengan cara terbaik di balik usaha terbaik yang dilakukan partai rasul ini.
Disampaikan pula pada mereka, kalimat ini yakni laailaha illallah muhammad rasulullah, adalah esensi kata dan makna yang akan membuat mereka berkuasa di muka bumi. Kalimat ini menggetarkan manusia dan menyatukan elemen-elemen alam semesta untuk tunduk. Sejarah sendiri yang membuktikan, kini jazirah Arab bahkan hampir seluruh negeri di belahan dunia diwarnai oleh Islam dan kaum muslimin.
Sekuat apapun, konspirasi kaum kafir membendung dakwah, sesungguhnya dakwah ini akan terus bersemayam di hati manusia. Dia membakar jiwa orang yang berkutat tauhid di sanubari. Pemboikan tidak membuat mereka lari, malah kian meneguhkan keimanan Rasul dan orang-orang yang bersamanya. Wallahu’alam.
Read Full Post »