(Tulisan ini sarat akan spoiler. Jangan lanjut baca kalau belum baca bukunya. Hehe.)
Kala itu saya masih kuliah semester tiga, belum banyak pikiran. Melalui rental buku, pilihan saya jatuh pada novel berjudul The Orange Girl alias Gadis Jeruk, karya Jostein Gaarder. Jujur, awal-awalnya novel itu membosankan, bingung juga bagusnya dimana. Sebenarnya itu kali kedua saya baca besutan Gaarder, setelah sebelumnya tidak tamat membaca Sophie’s World yang entah apa. Berhubung nggak mau rugi, apa boleh buat, saya paksain baca sampe kelar.
Novel berkisah tentang Georg Roed yang mendapati surat wasiat pemberian ayahnya beberapa tahun setelah beliau meninggalkan. Surat itu berisikan pertanyaan menggelisahkan:
“Aku mesti mengajukan pertanyaan serius kepadamu, Georg, dan itulah sebabnya aku menulis. Akan tetapi, agar mampu mengajukan pertanyaan ini, pertama-tama aku harus menyampaikan cerita sedih yang telah kujanjikan kepadamu tadi.”
Isi surat berlanjut tentang pertemuan sang ayah dengan seorang gadis yang membawa jeruk-jeruk ranum di keranjang, yang selanjutnya disebut Si Gadis Jeruk. Kisah masa lalu, pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan, dan misteri siapa si gadis jeruk sebenarnya, terus disembunyikan.
“Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.”
Sebelas tahun berlalu, saya udah nggak ingat satu persatu isi buku itu. Mungkin secara alam bawah sadar, saya jadi terobsesi dengan wasiat. Dan inspirasi terpendam lainnya tentang hidup, dan bagaimana penulis seharusnya menyembunyikan teka teki dalam cerita. Gadis Jeruk termasuk novel filsafat harian yang nggak terlalu berat. Mau bagaimana juga, kelebihannya terletak di ngalur ngidul seputar makna hidup. Teka teki siapa sebenarnya si gadis jeruk, jadi umpan yang membuat pembaca bertahan. Sekuat tenaga, penulis bertekad menyembunyikan hingga di lembar terakhir.
Cerita dan teka-teki. Ini belum termasuk bagaimana novel thriller yang lihai membuat modus dan strategi. Bersembunyi dalam detail dan kemahiran penulisnya agar tetap logis.
Akhir cerita, Si Gadis Jeruk itu ternyata sang ibu anak itu sendiri, alias istri ayahnya. Jadi ini tentang surat wasiat untuk mencintai seseorang, dalam kesempatan yang pendek maupun panjang. Dalam kesempatan hidup sebelum mati.
Teringat “Stay With Me” yang lagi digarap. Ada yang kangen Bima? Bagaimana dengan teka-teki di setiap part-nya? Masih setia nggak? Jati diri Bima jadi umpan yang saya siapkan sepanjang cerita. Pencarian identitas, romantika, diselingi serba serbi orientasi seksual yang akhir-akhir ini meresahkan. #CerbungBima diurut berdasarkan dimensi waktu, nilai kejutan, dan keadaan sehari-hari para tokohnya. Kalau kecepatan, ceritanya malah kurang seru. Kalau kelamaan, takutnya hambar. Memasuki lembar ke-18, saya pikir belum banyak-banyak amat untuk dinalar. Masih tersisa berpuluh-puluh lembar halaman lagi untuk ditulis. Hehehe.
Jadi penulis perlu sabar, jadi pembaca harus setia. Sampai ketemu!
Tinggalkan komentar