Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Oktober, 2016

“Assalamualaikum. Pagi Dok! Gimana Chocoblack oreo kemarin say? Semoga melengkapi kebahagiaan kalian. Salam buat Gunawan” , Pesan singkat, dari Wina.

Temanku satu ini, masih sempat-sempatnya. Katanya sibuk. Masih nyempetin recall ke pelanggan-pelanggan. Alasannya, selain ingin memastikan, sekalian dapat endorse kece.

“Enak gilak! Malah udah abis. Eh, pesan cheese strawberry ya. Bakal nyamperin mertua besok” Pesan centang double blue, terbaca.

“Oya, entar aku mention ke socmed deh”. Soft selling tipe testimoni customer termasuk yang paling diminati penjual manapun.  Wina memulai usahanya dari nol. Dari nol follower, nol rupiah, nol pengalaman. Triple zero. Sukses berdagang, sukses membahagiakan orang. Tak peduli pembelinya segelintir atau sejuta orang. Selagi mereka menikmati dan mendapat kebermanfaatan, itulah kesuksesan perniagaan sebenarnya.

“Tengkyu, Dokter Lola”

Typing message….

Dia masih melanjutkan menulis pesan di layar. Bakal panjang nih urusannya.

“Oya, minggu depan ada kajian Ustadz Fikri, datang yuk. Mumpung Ustadznya lagi ada di  Jakarta”

Typing message….

“Ajak suami juga, La. Hijrah sama-sama, lebih berkah”

Wina yang aku kenal hari ini, sosok dengan transformasi dari hari ke hari. Pertama kali mengenalnya, orangnya tomboi, bicara nyablak, pendapatnya spontan. Memang tetap kentara nyablaknya sampai sekarang. Wina tomboi yang rupawan. Sejak tomboi pun manis dan putih halusnya enak dipandanga. Kini kecantikan itu tersembunyi di balik hijab. Menyisakan wajah dan telapak tangan. Bukan perkara hijab, bukan cuma perkara itu. Sesuatu yang lebih nyata, lebih berdaya. Sesuatu yang sulit dilalui. Pelan namun pasti, pilihannya berubah, jalan hidupnya berpindah. Mungkin itu yang disebut hijrah.

Read…

Pesan terbaca. Aku menimbang, entah harus berkata apa. Mau pergi, kok ya segan. Mau nolak, ya malah lebih segan. Bukan main, kalau aku menolak, ini akan jadi penolakan ke belasan kalinya. Ada perasaan asing yang menghinggapi. Terbayang suasana di pengajian dengan orang-orang baru, pikiran-pikiran baru, yang asing, yang bukan kebiasaanku.

Typing message…

Aku meramu sebuah kalimat. Alasan-alasan jitu. Sekiranya masuk akal. Semacam : “Oke, lihat nanti ya”. Atau “Ada janji lain nih”, “Kerjaan lagi numpuk”, bisa juga semisal “Wah, jilbab udah kekecilan, bingung pake kostum apa”. Celaka, semua alasan itu sudah expired, alias sudah pernah dipakai. Urusan pengajian aja pakai acara bo’ong. Kok  berasa kurang kerjaan amat ya. Layar si ponsel pintar kedap kedip. Padam perlahan. Membiarkan pesan itu terbaca, tidak berbalas. Pikiranku menembus pilihan-pilihan. Nalar saling bertabrakan, serupa atom-atom lembam.

Read Full Post »

Racikan vanila, coklat dan caramel yang akrab di depan mata. Kemeja flannel sewarna navy, celanan belel dan rambut yang baru saja tercukur rapi. Bagaimana aku lupa kemeja flannel yang dipakai setahun lalu itu. Dan itu, sepatu boots pemberianku di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh delapan. Hadiah yang sepertinya sasaran. Bagus, nge-hits dan mahal. Apa mau dikata, yang berpunya ternyata tak suka modelnya. Alhasil lebih sering jadi benda pajangan. Mas Gun hadir ke hadapanmu, terkejab mulutnya menganga.

“Hallo….”,senyum terkembang. Darahku mengalir, seolah baru saja jatuh cinta.

“Ya ampun…” Aku menarik tangannya, buru-buru menutup pintu.

“Sorry tadi nggak sempat balas  whatsapp, buru-buru aja kesini”. Senjata makan tuan.  Cake Vanilla yang seharusnya mengejutkannya, berbalas mengejutkanku. Sama sekali belum tersentuh.

“Aku kira siapa,Mas. Hampir saja…..”

Mas Gun menatap sekeliling ruangan, merasa asing walau bersamaku. Dia memang jarang datang kesini secara khusus. Apalagi jika harus melebur ke tengah teman-temanku yang tak dikenalnya satu persatu.

“Nyantai aja Mas. Cuma kita berdua kok”,. Ruangan poliklinik terhubung pintu-pintu coklat tegas. Di bagian ujungnya sengaja dibuatkan kamar tidur khusus untuk dokter yang bertugas jaga malam. Jika sedang tak ada kegawatdaruratan, di kamar itulah aku bersantai. Masih dirinya tersenyum. Lekat kami bersitatap. Di ujung bibir sudah terangkum kalimat-kalimat yang enak didengar. Tak satu pun kata keluar. Hanya kelakuan badan dengan kesibukan yang dibuat-buat. Aku mengagumi caranya mencintai. Betapa diriku, selalu kalah dalam hal ini. Ketika kau bertemu seseorang setiap hari, kau terlalu menghafal gerak-geriknya, secara alami kau kehilangan keterhebatan. Euforia itu perlahan menjadi biasa. Tidak kentara, tidak istimewa. Kau cuma tahu betapa berharganya ia tatkala rindu menghinggapi. Barangkali rindu bukanlah momen yang bisa dibeli. Rindu itu seperti cinta. Cinta itu semirip mantra bahagia. Selama kau bisa menghargai hal-hal kecil, disana ada kebahagiaan.

“Maafin aku….” Apa yang dipunyai seorang istri selain permohonan ini. Hangat tangannya menyentuh lenganku. Mencengkram namun lembut. Rambutnya jatuh ke dahi seperti perempuan. Tatapnya hitam, menyimpan misteri. Menelan keingintahuan, membiarkan alam pikirku berdelusi. Membiarkan malam ini larut dalam kasmaran. Aku bahagia, merasakan jatuh cinta lagi.

Read Full Post »

Kejadian  pagi tadi….

 

Aku berusaha mengistimewakan hari ini dengan berbagai cara. Bangun pagi dengan mengecup pipinya. Ya aku tentu jadi lebih istimewa mengingat itu bukanlah kebiasaanku. Kulihat dia mengerling genit dan menampakkan lesung pipi, betapa dia memang tampan. Selebihnya kami bangun seperti biasa. Mandi, sholat subuh dan menyalakan televisi. Dia tak mengucapkan apapun, aku pun tidak, atau.. belum.

Plok! Dia menepuk jidat, mengingat dan berjingkat.

“Ada rapat pagi ini”

Hari ini bertepatan hari selasa. Meskipun ada istilah “I hate Monday”, tanpa sadar hari senin membuat lebih siap siaga menghadapinya. Tapi coba hari selanjutnya. Selasa, rabu, kamis, kecuali mungkin hari jumat, beberapa janji dan tugas terlupakan. Mas Gun tergesa, bahkan tak sempat sarapan. Aku yang memang masih asik mengunyah di meja makan tak sempat mengantarnya ke halaman, melambaikan tangan untuk suami tersayang. Kudengar mobil berderu menyala. Pintu garasi menyeret dibuka. Aku merapikan piring-piring kotor, berharap masih tersisa sekian menit untuk dadah-dadah dari kejauhan. Hap! Tiba-tiba, kepala Mas Gun menyembul dari pintu garasi. Sudah keduluanan rupanya. Aku tersenyum.

“Hari ini kena shift jaga?”

“Iya”

“Jam berapa?” Mas Gun bertanya tergesa

“Sore…. Sampai besok pagi” Aku mencoba tersenyum

Namun wajahnya berpendar kecewa. Berarti sedikit sekali hari ini kami bertemu, hampir tak ada. Senyumku memudar. Terbang seiring bayangnya  yang beranjak pergi.

 

 

****

“Dok, tanda tangan disini ya”. Bu Ayu, pegawai bagian administrasi memberiku setumpuk lembaran untuk diisi, diperiksa, dan membubuhkan lembaran persetujuan. Profesi sebagai seorang dokter tak semudah yang digambarkan orang. Undang-undang etika  yang  mengikat, pasien yang kian kritis, profesi ini bisa bikin stress diri sendiri. Rekam medis pasien tak bisa asal isi, kalau tak mau ada masalah di belakang hari. Belum proses klaim asuransi yang juga menuntut profesionalitas tingkat tinggi. Kalau tak sabar-sabar, mungkin banyak dokter yang memilih bunuh diri.

“Kenapa sih Dok melamun terus. Pasien sepi ya, jadi baper”. Hatiku geli. Wanita yang hampir setua ibuku ini meladeniku genit. Aku tak menyangka, dengan usianya dia bisa-bisanya menggodaku “baper”, kosa kata anak muda. Aku hanya terpingkal sejenak dan melanjutkan tanda tangan sana, tanda tangan sini, bagian-bagian yang sudah ditandai.

Masalah hidup tak pandang profesi. Tak juga dihampar berdasar usia. Saat masih kecil, kita melihat kurva pertumbuhan manusia berdasarkan index dan waktu. Masa menjadi penentu. Namun tidak dengan kematangan seseorang. Pada akhirnya, sejalan dengan firman Tuhan, beban ialah apa yang disanggupi oleh pundak masing-masing. Untunglah Dia maha adil. Jika keadailan ini tidak kuresapi, sering kusesali, kenapa aku begini.

“Udah semua ya Bu”, Kataku sembari merapikan lembaran-lembaran medis.

“Okey Dok, semoga cepat cair ya”, Lagi-lagi dia mengerling genit. Bayangan tentang bahwa aku bertangan dingin yang berkorelasi dengan pundi-pundi materi tak terlintas di benakku detik ini. Benar, pasien hari ini tergolong sepi. Baru dua tiga orang yang ditangani, itu pun medical check up bulanan. Seputar pasien sakit gula yang kadarnya tak turun-turun, atau pasien radang paru yang tak jera berhenti merokok.

“Pak hentikan dulu rokoknya, ya”

“Iya kok, udah nggak lagi” Jawabnya singkat dengan senyum aneh.

Detik itu juga, tercium aroma tembakau dari mulutnya. Dan, aha…. Nah ini. Abu rokok tertangkap basah di celana hitam si perokok itu. Yang sepintas seperti ketombe gatal paling ganas sedunia. Aku tentu tak perlu menggeledah isi kantong celananya untuk membuktikan. Biarlah. Sehat untuk sehatnya sendiri. Sakit tetaplah bagianku, dan memang untuk itu para dokter ada.

Lengang. Aku membiarkan sedikit kaca jendela terbuka dari bilik kecil ini. Mencari keriuhan, menemaniku menghabiskan waktu. Wajah pasien yang sibuk, menunggu menahan duka. Para perawat mondar mandir berseragam putih biru. Kesibukan yang tak mampu menghalau gundah di hatiku. Aku memandangi tanda centang dua berwarna biru di layar  chat Whatsapp. Baru dibaca doang.

Mas, pengen pulang rasanya. Pengen peluk kamu. Happy Anniversary ya.

Note : Ada sesuatu di kulkas. Spesial deh pokoknya

I miss you

Kata orang, refleksi hari jadi. Tak ada yang terlalu baik, tak tertimpa sesuatu yang teramat buruk, setahun pernikahan ini. Karir yang mandiri, rumah yang tersedia, suami tampan, istri molek, aku berkata ‘I love you’, dijawabnya ‘aku padamu, sayang’. Hari berlalu, musim berganti, dua orang menyatu menjadi satu. Gunawan Putra, terlalu muluskah perjalanan kita. Sampai-sampai terlintas di benak, apa cuma segini aja makna cinta. Terlalu mulus. Bahkan tak pernah keluar keluh dari mulutmu, kita belum ada tanda hendak berketurunan. Kau selalu berkata, “Manusia membaca tanda dan peristiwa, mengetahui cara, berbicara teori, berikhtiar ke ujung bumi. Sekuat tenaga menemukan kunci. Tapi segel itu bukan manusia yang punya. Tuhan hanya belum berkehendak, hanya itu”.

Tok tok…

Fragmen lamunan sendu terbuyarkan. Dua kali pintu diketuk, tanpa suara. Ahh malasnya terima  tamu. Terlihat gagang pintu berusaha susah payah dibuka. Kurang ajar, tamu tidak sopan. Datang nggak pake salam, sudah berani mau buka pintu kamar orang.

“Sebentarrrr….” Aku berteriak edan.

Tok tok…

Lagi, bunyi pintu diketuk. Siapa sih! Dengan tangan kanan terkepal, pintu kayu kecoklatan tersingkap hebat. Apakah aku bermimpi? Ataukah ini halusinasi tingkat tinggi.

Read Full Post »

Tanda cinta diakhiri dengan sepasang yang bergandeng tangan dalam pernikahan. Pasangan itu tersenyum dan melambai tamu-tamu yang datang. Hadirin turut senang, mendoakan. Bunga bertaburan laksana bintang-bintang. Perut kenyang, penuh riang, inilah sebuah perayaan cinta.B

Seolah, serangkaian itu ialah kisah yang mengakhiri segalanya. Menutup peristiwa, pencarian cinta seorang lajang. Mereka lupa, bahwa itu adalah awal dari banyak lika-liku. Misteri yang sama sekali tidak pasti. Pernikahan, labirin cinta yang baru. Pernikahan, ketika cinta yang sebenarnya menampakkan wujud. Love, masihkah kamu jatuh cinta?

***

.

FIRST ANNIVERSARY

 

Bau  vanilla. Aroma khas tempat ini selalu membuatku rindu. Aku belum masuk ke ruang utama tempat puluhan adonan segala rupa itu diracik. Mataku menyapu segala pemandangan ruang tamu. Sederhana, hanya terdiri dari satu set sofa dan hiasan dinding dengan foto-foto keluarga. Kali ini bau yang lain.

Hhsss…

Aku mengendus dalam-dalam. Tak salah lagi ini aroma coklat, pikirku. Coklat leleh ini tidak akan menipu penciumanku. Sangat khas, tak kalah menggoda. Pelan-pelan, perutku menjadi lapar. Entah benar lapar atau tergoda, mungkin keduanya. Sayangnya aku tidak datang untuk makan-makan apalagi kongkow di rumah kawan. Ini masih hari selasa, masih lama untuk berpikir santai di akhir pekan. Detik waktu mencatutku untuk segera selekas. Pekerjaan sudah menunggu, ingat itu ya. Sayangnya, ini bukan sembarang pekerjaan, melainkan perkara nyawa orang.

Hhhsss…

Kali ini aroma lain menyeruak. Hemm, apa ini? Karamel, kismis, atau almond sangrai? Pikiranku berkelebat. Beradu antara penciuman , nuansa lapar, dan rasa ingin cepat pulang. Huh, kemana sih dia? Aku melongoh jam tangan, mengira penungguan ini sudah hampir lima belas menit lamanya. Rumah ini milik seorang kawan yang ruang dapurnya diperluas menjadi sarana home industry. Kami berkenalan di sebuah rumah sakit sebelum akhirnya sama-sama lulus, yang kemudian hidup dengan jalan masing-masing. Aku menempuh karir profesional sebagai seorang dokter muda di Rumah Sakit Swasta. Dan dia, katanya, juga menempuh jalur profesional selaku pejuang lapak. Ya, pejuang lapak, pahlawan maya, bekerja dari rumah, sejenisnyalah.

“Maaf  say, lama” Perempuan berkerudung kaos keluar dari belakang. Akhirnya. Beginilah menunggu.

“Tadi di belakang ada yang overcooked. Biasalah, binaan baru. Masih grogi lihat loyang. Ha!”. Dia sedikit menjelaskan padaku suasana dapur yang menjadi ‘rahasia dapur’.

Wina, begitu aku memanggilnya, berhasil merekrut sepuluh orang karyawan sejauh perjalanan karirnya. Satu persatu, pelan tapi pasti, masakannya mulai dikenal orang. Terutama jenis dessert, cake dan tiramisu. Dari sekian jenis resep andalan, yang satu ini layak dipuji. Pesan dan permintaan berdatangan. Sekedar mencicipi masakan mewah ini hingga disajikan di acara istimewa.

Dia bicara lika liku. Begini dan begitu. Bagaimana api mengepul, adonan dilipat, dan seni memimpin karyawan. Yang kesimpulannya hampir sama dengan segala jenis pekerjaan profesional, yang tidak pernah mudah. Bagaimana sudah seharusnya menjaga kualitas bahan sampai proses kemas. Mulai dari rasa, tekstur, hingga sesepele kebersihan yang sering luput di dapur. Apa ada dapur yang tidak kotor, tidak berantakan?

“Dapur yang tidak  berantakan cuma dapur yang tidak digunakan untuk masak. Haha”, candanya. Semacam kalimat retoris yang kusambut dengan anggukan.

“Tapi bukan berarti nggak dibersihin ya. Beda lagi itu!”, Matanya mengerling mataku, mata kami beradu. Eh, sayang kami sejenis. Aku sambut tatapan itu dengan senyum dan berlalu.

“Ya Ok” jawabku singkat. Sesingkat waktuku kini. Seketika dia mengeluarkan sekotak loyang tiramisu tanpa tutup. Tiba-tiba aku merasa bodoh, kok tadi tidak menggunakan jasa kurir aja mengambil hidangan ini. Ya, sungguh santapan mempesona. Perpaduan warna coklat almond, krim vanila, coklat hitam dan irisan strawberi. Bahkan aku bisa mencium aromanya dari kejauhan.

“It’s perfect” Aku berseru, setengah menjerit sebenarnya.

“Belum”, katanya kemudian. “Sebentar”. Sajian penggoda perut itu dihampar di atas meja. Dengan saus strawberi, di atas tiramisu itu dirangkai satu persatu huruf membentuk tulisan. HAPPY ANNIVERSARY, LOLA DAN GUNAWAN.

Mataku terasa panas. Aku menahan sekuat tenaga, sungkan aku menangis. Peristiwa berkelebat di  dalam kepala. Sangat emosional, tak terukir kata-kata. Hari ini tepat satu tahun sejak pernikahan kami. Rasanya begitu cepat. Telah banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tak kalah banyak masalah mengitari.

“Thank’s ya Win”

Wina tersenyum puas. Kakiku bergegas menuju pintu. Aku merasa lepas. Bebas memandangi kado sederhana memperingati satu tahun pernikahan kami. Kutitipkan rasa cintaku di seonggok benda pemuas lidah ini.

Aku berjalan sendiri di trotoar berbau anti septik, aula rumah sakit. Siapa bilang menikah itu bikin suami istri selalu sama-sama? Pergi kerja sama-sama? Bangun tidur sama-sama? Shalat berjamaah? Pergi dianterin? Pulang dijemputin? Fakta pernikahan tak seindah pencintraan wedding organizer. Sama sekali tidak seperti yang tertulis di buku ajar tentang nikah. Pernikahan, tetap ada gusar yang dilumpukan sendiri. Terdapat fatamorgana yang menyadarkanmu untuk bangun. Sebelum  menikah kau merasa jatuh cinta. Setelah itu, kau baru saja akan membangunnya. Bayangkan membangun sesuatu, memangnya mudah?

Read Full Post »

Febrianti Almeera

"Never Ending Learn to be a Great Muslimah"

SEKOLAH MOTIVASI

Jalan menuju "Pengembangan diri"

The Work of Wiryanto Dewobroto

. . . sebab dari buahnya, pohon itu dikenal.

Saatnya Bercerita

Jangan pernah menulis sesuatu yang kelak akan membuatmu menyesal

J'étais Parisienne

moved to : https://jetaisparisienne.com

Nurbaiti-Hikaru's Blog

Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti

fattahrumfot.writings

Tinta-Tinta Gagasan

Life Journey

growing into the person I am here today

bocahbancar.wordpress.com/

A Social Worker, A Great Dreamer

melquiadescaravan

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

Journey of Sinta Yudisia

Writing is Healing. I am a Writer & Psychologist.

Jiwa yang Pergi

Catatan hati dan pikiran setelah anakku mengakhiri hidupnya

What an Amazing World!

Seeing, feeling and exploring places and cultures of the world

Kajian Timur Tengah

dan Studi Hubungan Internasional

Life Fire

Man Jadda Wajada | Dreams will be achieved when we truly believe in our heart ˆ⌣ˆ

Febrianti Almeera

"Never Ending Learn to be a Great Muslimah"

SEKOLAH MOTIVASI

Jalan menuju "Pengembangan diri"

The Work of Wiryanto Dewobroto

. . . sebab dari buahnya, pohon itu dikenal.

Saatnya Bercerita

Jangan pernah menulis sesuatu yang kelak akan membuatmu menyesal

J'étais Parisienne

moved to : https://jetaisparisienne.com

Nurbaiti-Hikaru's Blog

Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti

fattahrumfot.writings

Tinta-Tinta Gagasan

Life Journey

growing into the person I am here today

bocahbancar.wordpress.com/

A Social Worker, A Great Dreamer

melquiadescaravan

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

Journey of Sinta Yudisia

Writing is Healing. I am a Writer & Psychologist.

Jiwa yang Pergi

Catatan hati dan pikiran setelah anakku mengakhiri hidupnya

What an Amazing World!

Seeing, feeling and exploring places and cultures of the world

Kajian Timur Tengah

dan Studi Hubungan Internasional

Life Fire

Man Jadda Wajada | Dreams will be achieved when we truly believe in our heart ˆ⌣ˆ