Kejadian pagi tadi….
Aku berusaha mengistimewakan hari ini dengan berbagai cara. Bangun pagi dengan mengecup pipinya. Ya aku tentu jadi lebih istimewa mengingat itu bukanlah kebiasaanku. Kulihat dia mengerling genit dan menampakkan lesung pipi, betapa dia memang tampan. Selebihnya kami bangun seperti biasa. Mandi, sholat subuh dan menyalakan televisi. Dia tak mengucapkan apapun, aku pun tidak, atau.. belum.
Plok! Dia menepuk jidat, mengingat dan berjingkat.
“Ada rapat pagi ini”
Hari ini bertepatan hari selasa. Meskipun ada istilah “I hate Monday”, tanpa sadar hari senin membuat lebih siap siaga menghadapinya. Tapi coba hari selanjutnya. Selasa, rabu, kamis, kecuali mungkin hari jumat, beberapa janji dan tugas terlupakan. Mas Gun tergesa, bahkan tak sempat sarapan. Aku yang memang masih asik mengunyah di meja makan tak sempat mengantarnya ke halaman, melambaikan tangan untuk suami tersayang. Kudengar mobil berderu menyala. Pintu garasi menyeret dibuka. Aku merapikan piring-piring kotor, berharap masih tersisa sekian menit untuk dadah-dadah dari kejauhan. Hap! Tiba-tiba, kepala Mas Gun menyembul dari pintu garasi. Sudah keduluanan rupanya. Aku tersenyum.
“Hari ini kena shift jaga?”
“Iya”
“Jam berapa?” Mas Gun bertanya tergesa
“Sore…. Sampai besok pagi” Aku mencoba tersenyum
Namun wajahnya berpendar kecewa. Berarti sedikit sekali hari ini kami bertemu, hampir tak ada. Senyumku memudar. Terbang seiring bayangnya yang beranjak pergi.
****
“Dok, tanda tangan disini ya”. Bu Ayu, pegawai bagian administrasi memberiku setumpuk lembaran untuk diisi, diperiksa, dan membubuhkan lembaran persetujuan. Profesi sebagai seorang dokter tak semudah yang digambarkan orang. Undang-undang etika yang mengikat, pasien yang kian kritis, profesi ini bisa bikin stress diri sendiri. Rekam medis pasien tak bisa asal isi, kalau tak mau ada masalah di belakang hari. Belum proses klaim asuransi yang juga menuntut profesionalitas tingkat tinggi. Kalau tak sabar-sabar, mungkin banyak dokter yang memilih bunuh diri.
“Kenapa sih Dok melamun terus. Pasien sepi ya, jadi baper”. Hatiku geli. Wanita yang hampir setua ibuku ini meladeniku genit. Aku tak menyangka, dengan usianya dia bisa-bisanya menggodaku “baper”, kosa kata anak muda. Aku hanya terpingkal sejenak dan melanjutkan tanda tangan sana, tanda tangan sini, bagian-bagian yang sudah ditandai.
Masalah hidup tak pandang profesi. Tak juga dihampar berdasar usia. Saat masih kecil, kita melihat kurva pertumbuhan manusia berdasarkan index dan waktu. Masa menjadi penentu. Namun tidak dengan kematangan seseorang. Pada akhirnya, sejalan dengan firman Tuhan, beban ialah apa yang disanggupi oleh pundak masing-masing. Untunglah Dia maha adil. Jika keadailan ini tidak kuresapi, sering kusesali, kenapa aku begini.
“Udah semua ya Bu”, Kataku sembari merapikan lembaran-lembaran medis.
“Okey Dok, semoga cepat cair ya”, Lagi-lagi dia mengerling genit. Bayangan tentang bahwa aku bertangan dingin yang berkorelasi dengan pundi-pundi materi tak terlintas di benakku detik ini. Benar, pasien hari ini tergolong sepi. Baru dua tiga orang yang ditangani, itu pun medical check up bulanan. Seputar pasien sakit gula yang kadarnya tak turun-turun, atau pasien radang paru yang tak jera berhenti merokok.
“Pak hentikan dulu rokoknya, ya”
“Iya kok, udah nggak lagi” Jawabnya singkat dengan senyum aneh.
Detik itu juga, tercium aroma tembakau dari mulutnya. Dan, aha…. Nah ini. Abu rokok tertangkap basah di celana hitam si perokok itu. Yang sepintas seperti ketombe gatal paling ganas sedunia. Aku tentu tak perlu menggeledah isi kantong celananya untuk membuktikan. Biarlah. Sehat untuk sehatnya sendiri. Sakit tetaplah bagianku, dan memang untuk itu para dokter ada.
Lengang. Aku membiarkan sedikit kaca jendela terbuka dari bilik kecil ini. Mencari keriuhan, menemaniku menghabiskan waktu. Wajah pasien yang sibuk, menunggu menahan duka. Para perawat mondar mandir berseragam putih biru. Kesibukan yang tak mampu menghalau gundah di hatiku. Aku memandangi tanda centang dua berwarna biru di layar chat Whatsapp. Baru dibaca doang.
Mas, pengen pulang rasanya. Pengen peluk kamu. Happy Anniversary ya.
Note : Ada sesuatu di kulkas. Spesial deh pokoknya
I miss you
Kata orang, refleksi hari jadi. Tak ada yang terlalu baik, tak tertimpa sesuatu yang teramat buruk, setahun pernikahan ini. Karir yang mandiri, rumah yang tersedia, suami tampan, istri molek, aku berkata ‘I love you’, dijawabnya ‘aku padamu, sayang’. Hari berlalu, musim berganti, dua orang menyatu menjadi satu. Gunawan Putra, terlalu muluskah perjalanan kita. Sampai-sampai terlintas di benak, apa cuma segini aja makna cinta. Terlalu mulus. Bahkan tak pernah keluar keluh dari mulutmu, kita belum ada tanda hendak berketurunan. Kau selalu berkata, “Manusia membaca tanda dan peristiwa, mengetahui cara, berbicara teori, berikhtiar ke ujung bumi. Sekuat tenaga menemukan kunci. Tapi segel itu bukan manusia yang punya. Tuhan hanya belum berkehendak, hanya itu”.
Tok tok…
Fragmen lamunan sendu terbuyarkan. Dua kali pintu diketuk, tanpa suara. Ahh malasnya terima tamu. Terlihat gagang pintu berusaha susah payah dibuka. Kurang ajar, tamu tidak sopan. Datang nggak pake salam, sudah berani mau buka pintu kamar orang.
“Sebentarrrr….” Aku berteriak edan.
Tok tok…
Lagi, bunyi pintu diketuk. Siapa sih! Dengan tangan kanan terkepal, pintu kayu kecoklatan tersingkap hebat. Apakah aku bermimpi? Ataukah ini halusinasi tingkat tinggi.
Read Full Post »