Betapa keras kemauannya. Betapa sulit dia ditentang. Tiada kata-kata yang mampu membiusnya lagi. Tidak untuk yang halus, tidak pula yang terlontar kasar. Itulah Fandi.
Awal mula sosoknya dikenal, dirinyalah seorang riang, suka cita dan cinta perdamaian. Tiada ide-ide perlawanan di dadanya. Dia mengalir mengulir, dia pula yang hidup dengan ratusan pemakluman terhadap keadaan. Tipe penurut dan gampang diajak kerja sama. Sosok Fandi dengan format awal. Itu dulu dan cerita masa lalu.
“Roda terus berputar” begitu katanya
Fandi yang sekarang tidak akan terlambat dalam mengoceh. Nyaris jarang sekali dia berbicara tentang dirinya. Tidak jelas kenapa. Entah karena tidak ingin individualis atau karena anti narsis. Dia selalu berbicara tentang “kita”. Lalu pada suatu kesempatan, semangatnya berapi-api, menggagas pemberontakan kita.
Ide revolusi kita tergilas di jalanan. Tak ada celah untuk memperdulikan hal itu. Lagi-lagi, untuk kesekian kali, revolusi terkapar akibat busung lapar atau tercebur mengabur dalam musik-musik anak muda. Bahkan revolusi telah jauh dari diri kita. Pemberontakan kita, pada kenyataannya menjadi trade mark yang bekerja membabi buta. Atau sejumlah caci maki kita kepada kemaksiatan, tak lagi terasa mengigit. Kita terhempas jauh dan bermuara pada simbol-simbol. Kitalah segerombolan maniak simbol-simbol.
Agitasi tiada banding. Dia berpanjang lebar. Namun tak jemi, di kembali meranggas
“ Kita diuji” katanya
Lalu terdiam agak lama.
Kita memang tidak mengenal kata kompromi. Sayangnya, kita juga yang tak mampu memahami diri sendiri. Keras kepala, bukan berari hati yangmembatu. Berontak, tidak berarti kehilangan otak. Jika berontak adalah manifestasi dari penolakan terhadap keterkungkungan, maka apakah kemudian kita sudi terlahir manjadi Sang Pembuat Onar dan terus menggalang perkara. Perkarakan apa yang pantas, pertanyakan apa yang ganjil. Jangan hanya berkata, perbanyak bekerja. Berhentilah beralasan, karena pilihan bagi kita adalah berkata benar atau diam.
Panjang lebar itu, diikuti banyak anggukan. Maka ketika itu, Fandi merupakan sosok yang bisa dimengerti.
“Hhhhh…..” Nafasnya terhempas
Kemudian diikuti lafadz. Jemarinya menyusuri daun telinga kanan. Itu yang biasa dia lakukan, barangkali itu caranya mengingat. Mengambil fase jeda
Dia tersenyum. Lalu terdiam Ya, diam yang lama.
“Mengapa kamu diam, Fandi ? “ Seseorang bertanya
“Aku merasa cukup. Mudah-mudahan Allah mengampuniku”
Ya. Itulah Fandi dan apa yang menari-nari di alam pikirannya.