Berapa kali kita menyisihkan uang dalam sebulan (setahun)? Sebagai gudangnya pengetahuan, buku berbeda perlakuannya di mata anggaran bulanan. Barang-barang semisal baju, sepatu, tas, seandainya salah beli atau kurang pas, enak ‘digelontorkan’ di pasaran dan enak ‘mau diapa-apain’. Buku hanya dibeli bagi yang minat, dibaca kalau memang diinginkan. Itulah kenapa sebabnya, buku dengan ‘harga nyungsep’ belum tentu laris dibanding buku best-seller dengan harga selangit.
Maka saran saya, jangan sampe Anda salah beli buku, kalau ngga pengen jadi hiasan lemari doang. Berikut panduannya berdasarkan pengalaman:
- Baca Review atau Resensinya : Ini wajib banget, dan representatif. Review buku bisa kita nikmati di media social perbukuan semacam goodreads atau dibagikan cuma-cuma oleh para blogger. Ngga sedikit para blogger yang mendedikasikan lamannya untuk mereview buku yang dia baca secara berkala.
- Komentar pembaca : Reviewer atau para penulis resensi itu tidak akan lengkap tanpa kehadiran komentator. Jadi setelah baca resensinya, jangan lupa lanjut baca komentar pembaca lainya. Jawaban komentator ini biasanya lugas jelas, baik mereka yang menggemari maupun para pembenci. Kita bisa menelusuri jejak buku yang akan kita beli, baik dari sisi kelebihannya maupun kekurangannya.
- Lihat siapa penulisnya : Ini bukan jaminan, tapi terbukti bisa jadi acuan. Kalau sebelumnuya kita sudah pernah membaca tulisan Si A. Artinya kita sudah mulai mengenal gaya, diksi dan rasa yang dibawanya. Kalau ngerasa suka, ngga perlu ribet baca review, mudah-mudahan bukunya tidak mengecewakan.Kan emang sudah suka!
- Lihat penerbitnya. Logikanya begini. Kalau penerbit bonafit dan kita tahu peneribit tersebut mementingkan kualitas, maka beragam jenis buku yang dikeluarkan biasanya sudah dengan seleksi ketat dan standard dunia penerbitan. Minimal, kita ngga harus kerut dahi dengan dilema editing teks, yang salah EYD atau kurang spasi. Bisa kriting lah di mata kalau baca buku abal-abal yang ngga di edit penerbitnya!
- Testimoner : Di jaman pencitraan gini, ngga lengkap tanpa kehadiran endorser alias testimoni tokoh. Testimoni ini biasanya ada di back cover bukunya, bahkan bisa berlembar-lembar di bagian dalam (buku motivasi atau pengembangan diri biasanya doyan banget menuh-menuhin endorse, hehe). Walau terlihat bergengsi, saya posisikan tips ini di nomor buntut. Karena buku itu masalah rasa. Seolah ini perkara lidah. Jadi apa yang tokoh itu suka, belum tentu kita doyan. Mengingat kita pun beda gaya dan latar belakang 🙂
Silakan bagi para readers untuk berbagi tips lainnya. Sebab tulisan ini tegak berdasarkan pengalaman, bukan riset yang mendalam. Pasti nemu celah dan cacatnya. Akhir kata, marilah kita amalkan “dont judge a book from its cover”. Situ baca cover, atau baca isinya mak?! hehe
*Sampai ketemu di postingan berikutnya, jangan lupa baca buku
Medan, 12 Januari 2016
Alga Biru